Kajian KitabSyarah Shahih Muslim

Syarah Shahih Muslim : Bab – Larangan Mengusir Seseorang dari Tempat Duduknya di Majilis

Bismillahirrahmanirrahim. “اللَّهُمَّ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَزِدْنَا عِلْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ سَهْلاً.”

Kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita lanjutkan kajian kita.

Bab: Larangan Mengusir Seseorang dari Tempat Duduknya yang Mubah (Boleh) dan Dia Lebih Dahulu Menempatinya

“قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: بَابُ تَحْرِيمِ إِقَامَةِ الإِنْسَانِ مِنْ مَوْضِعِهِ الْمُبَاحِ الَّذِي سَبَقَ إِلَيْهِ” (Berkata penyusun (Imam Muslim) rahimahullahu Ta’ala: Bab larangan mengusir seseorang dari tempat duduknya yang boleh dia pakai, yang mana dia lebih dahuluan menempati tempat itu, lalu diambil alih).

Hadis Larangan Mengusir Orang dari Tempat Duduknya

“وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَحَدَّثَنَا لَيْثٌ وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ مُهَاجِرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُقِيمُ أَحَدُكُمُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ” (Dengan sanadnya kepada Ibnu Umar dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya, lalu dia duduk di tempat itu”).

“حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو حُبَابٍ وَحَدَّثَنَا زُرَارَةُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا وَحَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي الثَّقَفِيَّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ مِنْ مَقْعَدِهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا” (Sanadnya kepada Ibnu Umar dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Seseorang tidak boleh menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya, kemudian dia duduk di tempat itu. Akan tetapi, “تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا” (tafassahu wa tawassau – berlapang-lapanglah dan bergeser-geserlah)“). Yakni “تَفَسَّحُوا” itu beri tempat yang lain. Bergeser untuk diberikan tempat duduk. Jadi tidak perlu diusir dia tapi bergeser-geser diberikan tempat untuk orang lain.

“وَحَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ وَأَبُو كَامِلٍ قَالاَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ وَحَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ قَالَ حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ إِلَيْهِمَا عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ قَالَ أَخْبَرَنَا يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ فِي قِصَّةِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْسَ فِي حَدِيثِهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا” (Dengan sanadnya kepada Ibnu Umar dari jalur perawi-perawi yang disebutkan tadi dari Nabi ﷺ, mirip dengan hadis dari jalur Laits. Hanya saja tidak disebutkan di situ, “Akan tetapi berlapang-lapanglah dan bergeser-gesarlah.”).

“نَاقَشْتُ ابْنَ جُرَيْجٍ هَلْ هُوَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ: يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَيْرَهُ” (Namun dalam hadis Ibnu Juraij disebutkan, “Saya bertanya apakah itu adalah pada hari Jumat?” Yakni yang dimaksud di situ adalah hari Jumat. Dikatakan bahwa pada hari Jumat dan yang lainnya, yakni tidak boleh kita menyuruh orang yang sudah duluan datang ke tempat duduk itu untuk berdiri lalu ditempati tempatnya, akan tetapi saling bergeserlah).

“حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُقِيمُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ مِنْ مَجْلِسِهِ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا قَامَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيهِ” (Dari Ibnu Umar dengan sanad kepada Ibnu Umar, Nabi ﷺ mengatakan, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antaramu menyuruh saudaranya yang lain untuk berdiri dari tempatnya.” Kemudian dia duduk di tempat duduknya itu. Ibnu Umar, kebiasaan dari Ibnu Umar apabila ada seseorang yang berdiri dari tempat duduknya diberikan kesempatan untuk Ibnu Umar, jadi dia sudah duduk duluan datang Ibnu Umar. Lalu orang tadi berdiri supaya Ibnu Umar duduk di situ. “لَمْ يَجْلِسْ فِيهِ” (lam yajlis fihi – Ibnu Umar tidak mau duduk di tempat tadi)). Ya, Ibnu Umar tidak mengusirnya. Tapi boleh jadi orang itu ya menghargai Ibnu Umar lalu dia berdiri. Namun Ibnu Umar karena ingin ee menerapkan hadis Nabi ﷺ ini, beliau tidak mau duduk di tempat tersebut.

“وَحَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ قَالَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ وَهُوَ ابْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُقِيمَنَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ يُخَالِفَ إِلَى مَقْعَدِهِ فَيَقْعُدَ فِيهِ” (Dari Jabir bin Abdillah dari Nabi ﷺ, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antaramu menyuruh saudaranya berdiri dari tempat duduknya pada hari Jumat kemudian dia menduduki tempat tersebut.” Akan tetapi “أَفْسِحُوا” (afsahu) katakan “berlapanglah” dari hadis-hadis yang kita bacakan tadi).

Penjelasan Hukum Larangan dan Pengecualiannya

Imam An-Nawawi mengatakan, “هَذَا النَّهْيُ لِلتَّحْرِيمِ” (Larangan yang ada pada hadis-hadis tadi menunjukkan akan keharaman). Berarti dosa haram kita menyuruh orang berdiri dari tempat duduk yang dia telah duduk lebih dahuluan. “فَمَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِعٍ مُبَاحٍ فِي الْمَسْجِدِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ وَيَحْرُمُ عَلَى غَيْرِهِ إِقَامَتُهُ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يُقِيمُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ” (Siapa yang telah dahuluan ke tempat duduk yang mubah (boleh) di dalam masjid atau di lainnya pada hari Jumat atau pada hari lainnya untuk salat atau untuk yang lainnya, maka dialah yang lebih berhak. Hak dengan tempat tersebut, maka haram untuk orang lain mengusirnya berdasarkan hadis ini).

Imam An-Nawawi mengatakan, “إِلَّا أَنَّ أَصْحَابَنَا اسْتَثْنَوْا مِنْهُ مَا إِذَا عُرِفَ مِنَ الْمَسْجِدِ مَوْضِعًا يُفْتِي فِيهِ أَوْ يَقْرَأُ قُرْآنًا أَوْ غَيْرَهُ مِنَ الْعُلُومِ الشَّرْعِيَّةِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ” (Hanya saja bahwa sahabat-sahabat kita, yakni ulama-ulama Syafi’iyah, mengecualikan dari persoalan-persoalan tadi apabila di masjid itu sudah dikenal satu tempat, satu lokasi yang mana di tempat itu dia memberi fatwa atau di tempat itu dia membacakan Al-Qur’an atau selainnya dari ilmu-ilmu syar’i, ya, tempat seorang guru misalkan ya tempat belajar). Contoh misalkan di Masjid Nabawi itu kan ada kursi masyaikh. Kalau tempat-tempat yang seperti itu maka “فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ” (dialah yang berhak). Orang yang sudah dikenal untuk duduk di situ dialah yang berhak. Walaupun dia datang belakangan. Ada orang duduk di lapang, enggak ada orang duduk di kursi. “قَدِمَ الرَّجُلُ فَجَلَسَ” (dia duduk, ya, datang sang guru). Nah, sudah dia yang guru itulah yang lebih berhak menempati tempat itu. “وَإِذَا حَضَرَ لَمْ يَكُنْ لِغَيْرِهِ أَنْ يُقْعِدَ فِيهِ” (Kalau seandainya dia hadir, maka tidak boleh bagi yang lain untuk menempati tempat itu).

“أَيْ مَنْ سَبَقَ إِلَى مَوْضِعٍ مِنَ الشَّوَارِعِ وَمَقَاعِدِ الأَسْوَاقِ لِأَجْلِ مُعَامَلَةٍ” (Dan semakna dengan ini ya orang yang lebih dahuluan ke tempat satu tempat di jalan ya atau di kios ke kios-kios pasar untuk berjualan). Kalau seandainya belum ditentukan, maka siapa yang dahulu dialah yang berhak. Tapi kalau sudah ditentukan ini tempat si Fulan, ini tempat si Fulan, ini tempat si Fulan, ya sudah dikenal itu, maka dialah yang lebih berhak. Ya, contoh misalkan kios-kios yang sudah disewakan misalkan ya, dialah yang berhak di situ. Tapi kalau seandainya tidak ada, maka yang lebih dahulu dia lebih dahulu berhak. Ya. Ya. Tempat duduk di sini dalam masjid. Siapa yang duluan datang, dialah yang berhak di tempat tersebut.

Sikap Kehati-hatian Ibnu Umar

“وَمَا قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ قَامَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيهِ” (Adapun ungkapan di dalam hadis di atas bahwasanya Ibnu Umar apabila ada seseorang yang berdiri dari tempat duduknya untuk Ibnu Umar, dia tidak mau duduk di tempat tersebut walaupun dipersilakan). “فَهَذَا وَرَعٌ مِنْهُ” (Ini adalah sikap kehati-hatian dari Ibnu Umar). “وَلَيْسَ قُعُودُهُ فِيهِ حَرَامًا إِذَا قَامَ بِرِضَاهُ” (Duduk di tempat itu bukanlah haram. Apabila orang tadi berdiri dengan kerelaannya). Ya ada seorang ya dia lihat dia lebih tua daripada dirinya sendiri atau mungkin boleh jadi dia lebih tua. Namun yang berdiri adalah orang yang disegani, orang yang mulia ya. Lalu dia berdiri untuk menghormatinya boleh. Tidak haram.

“وَلَكِنَّهُ تَوَرَّعَ عَنْهُ لِوَجْهَيْنِ” (Akan tetapi Ibnu Umar bersikap wara’, bersikap hati-hati atau bersikap dia mengambil sikap wara’nya karena dua alasan):

  1. “أَحَدُهُمَا أَنَّهُ رُبَّمَا اسْتَحْيَا مِنْهُ إِنْسَانٌ فَقَامَ لَهُ مِنْ مَجْلِسِهِ مِنْ غَيْرِ طِيبَةِ نَفْسٍ مِنْهُ” (Salah satunya boleh jadi ada seseorang yang merasa malu dari Ibnu Umar lalu dia berdiri dari tempat duduk yang telah dia duduki, tapi tidak dengan hati yang lapang). Ya, seakan-akan, “Ah, tapi baik,” gitu kan dia kurang senang cuma karena segan, ya, maka Ibnu Umar menutup celah itu agar selamat dari hal tersebut. Ya, jangan-jangan dia karena rasa malu aja tapi dia terpaksa berdiri. Nah, gitu bukan dari keikhlasan dirinya.
  2. “وَالثَّانِي أَنَّ الإِيثَارَ بِالْقُرْبِ مَكْرُوهٌ أَوْ خِلاَفُ الأَوْلَى” (Yang kedua, mendahulukan orang lain dalam hal-hal pendekatan diri kepada Allah atau ibadah itu hukumnya makruh, ya. Atau “خِلاَفُ الأَوْلَى” (khilaf al-aula – tidak melakukannya lebih baik)). Yakni tidak bersikap mendahulukan toleransi atau mendahulukan orang lain daripada dirinya di dalam mendekatkan diri kepada Allah itu lebih utama. Jadi ada rasa apa? Ego ada mendahulukan diri sendiri dalam beribadah. Itu baik ya. Itu baik. Mendahulukan orang lain dalam keutamaan beribadah hukumnya makruh. Maka Ibnu Umar tidak mau melakukan hal yang tadi ya karena keseganan orang, misalkan kepada dirinya diberikan tempat karena yang tadi ya agar seseorang tidak melakukan sesuatu yang makruh disebabkan Ibnu Umar gara-gara datang Ibnu Umar, ya, dia memberi lebih mengutamakan Ibnu Umar daripada dirinya sendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah. “وَإِلاَّ فَالْأَفْضَلُ” (eh wa khilafal aula) atau dia melakukan sesuatu yang lawannya lebih utama. Contohnya bagaimana? “بِأَنْ يَتَأَخَّرَ عَنْ مَوْضِعِهِ فِي الصَّفِّ الأَوَّلِ” (Yakni seperti dia mundur dari tempat yang sudah diambil dari saf pertama). Dia sudah duduk nih di saf pertama. Pertama sudah tahu kita keutamaannya. Gara-gara Ibnu Umar datangnya mundur ke belakang dia gagah kesempatan untuk Ibnu Umar di saf awal. Ya, di sini posisi yang kayak gini adalah makruh. Jadi tidak ada toleransi di sini gitu loh. Makruh toleransi di sini. Karena kita disuruh untuk berpacu-pacu untuk kebaikan, bukan bertoleransi dalam kebaikan.

“قَالَ أَصْحَابُنَا: وَإِنَّمَا يُحْمَدُ الْإِيثَارُ بِحُظُوظِ النُّفُوسِ وَأُمُورِ الدُّنْيَا دُونَ الْقُرُبِ” (Sahabat-sahabat kami atau ulama mengatakan, imam ulama Syafi’iyah, “Sikap mendahulukan orang lain daripada diri sendiri baru terpuji apabila dalam perkara-perkara kepentingan diri.” Kepentingan ya kepentingan keuntungan diri sendiri atau perkara-perkara dunia). Kalau misalkan orang sedang bagi-bagi ya bagi gratis. Ah, kalau itu enggak apa-apa, “Yang lainlah dulu,” “Ah, biarlah di belakang.” Tapi kalau untuk masalah “دُونَ الْقُرُبِ” (bukan di dalam mendekatkan diri kepada Allah). Kalau dalam mendekatkan diri kepada Allah, ah kita harus berpacu-pacu. Bukan berpacu-pacu dalam masalah dunia. “طَيِّبٌ” (Tayyib – baik).

Bab: Orang yang Berdiri dari Majelisnya Lalu Kembali, Maka Dia Lebih Berhak atas Tempatnya

“بَابُ إِذَا قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ عَادَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ” (Bab orang yang berdiri apabila salah seorang berdiri dari tempat duduknya ingin pergi sebentar, lalu kembali lagi ke tempat itu, maka dia adalah lebih berhak tempat itu). Misalkan kita duduk “cali tempek muka tagaknya ya tagaknya langsuk tempati tempat itu” (ungkapan lokal), ternyata dia kembali lagi. Nah dia lebih berhak di tempat yang tadi. Ketentuan dari kita dipesankan atau tidak dipesankan? Ya, dipesankan nih. “Saya mau balik lagi ya.” Atau tidak dipesankan. Tapi ketika dia balik lagi ke situ, dialah yang lebih berhak.

“حَدَّثَنَا وَحَدَّثَنَا ابْنُ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ وَقَالاَ أَيْضًا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدِ ابْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ” (Dengan sanadnya kepada Abu Hurairah رضي الله عنه bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang di antaramu…”). “وَفِي حَدِيثِ أَبِي عَوَانَةَ: مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ” (…atau dalam riwayat hadis Abi Awanah, “Siapa yang berdiri dari majelisnya, dari tempat duduknya, kemudian dia kembali kepadanya, maka dia lebih berhak”). Berarti dia tinggalkan tempat itu. Mungkin ada kebutuhan dia. Ya. “تَرَى لَهُ” (Tarla – bisa jadi). Misalkan kalau di masjid dia mau pengin ke WC terus balik lagi dia, ya, “فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ” (maka dia lebih berhak untuk menempati tempat itu kembali).

“قَالَ الإِمَامُ النَّوَوِيُّ: وَقَوْلُهُ: مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ” (Kata Imam An-Nawawi, “Perkataan Nabi: Siapa yang berdiri dari majelisnya lalu kembali kepadanya, maka dia lebih berhak”). “قَالَ أَصْحَابُنَا: هَذَا الْحَدِيثُ فِي مَنْ جَلَسَ مَوْضِعًا مِنَ الْمَسْجِدِ مَثَلًا لِصَلاَةٍ أَوْ قِرَاءَةٍ أَوْ تَنْقِيلٍ ثُمَّ لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ بَلْ لِكُلٍّ” (Ulama-ulama kami mengatakan, “Hadis ini pada orang yang yakni berhubungan dengan orang yang duduk di satu tempat di dalam masjid atau di lainnya untuk salat contohnya. Kemudian dia tinggalkan tempat itu untuk dia akan kembali.” Contohnya dia meninggalkan tempat itu untuk berwudu atau dia ingin melakukan sebuah kesibukan yang lain di luar situ ya. Pekerjaan yang ringan kemudian kembali lagi maka kekhususan tempat itu untuk dia belum batal. Masih ada kekhususan hak dia di situ). Ya. “بَلْ إِذَا رَجَعَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ” (Malahan apabila dia kembali ke tempat itu, maka dia berhak di tempat itu memakai tempat itu ya di di salat yang dia kerjakan).

“فَإِنْ كَانَ قَدْ قَعَدَ فِيهِ غَيْرُهُ فَلَهُ أَنْ يُقِيمَهُ” (Kalau seandainya tempat dia yang dia tinggalkan tadi sudah ada orang lain yang menempatinya, maka dia boleh mengusirnya atau menyuruhnya dia berdiri). “وَعَلَى الْقَاعِدِ أَنْ يُفَارِقَ هَذَا الْحَدِيثَ” (Bagi orang yang sudah duduk tadi ya, orang yang baru duduk tadi untuk meninggalkan tempat itu berdasarkan hadis ini karena dialah yang lebih berhak). Ya, kalau tadinya duduk belakang eh nampak kosong itu dia eh datang orang tadi lagi harus dia cari tempat yang lain. Dia persilakan tempat tersebut. “وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا” (Inilah yang sahih menurut ulama-ulama kami). “وَأَنَّهُ يَجِبُ عَلَى مَنْ قَعَدَ فِيهِ مُفَارَقَتُهُ إِذَا رَجَعَ الأَوَّلُ” (Bahwasanya wajib bagi orang yang sudah menempati tempat itu ya untuk meninggalkan tempat tersebut apabila orang pertama yang duduk sudah kembali).

“وَقَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: هَذَا مُسْتَحَبٌّ وَلاَ يَجِبُ” (Sebagian dari ulama mengatakan, “Ini anjuran tidak wajib, ya”). “وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ” (Itu adalah pendapat Imam Malik). Jadi pendapat Imam Malik kalau dia sudah duduk dia tadi kemudian dia kembali maka dianjurkan bagi dia untuk meninggalkan tempat itu dan memberikannya kepada orang yang sudah duduk tadinya. Ya, tidak wajib katanya. Tapi mazhab Syafi’i wajib wajib meninggalkannya berdasarkan hadis ini. “وَالصَّوَابُ الأَوَّلُ” (Yang benar itu ya yang menjadi pilihan adalah yang pertama), yakni wajib dia meninggalkan tempat tersebut dan memberikannya kepada orang yang sudah duduk duluan yang dia tinggalkan tempat itu. Jangan diberujah, “Eh karena engkaulah meninggal mah. Hah lah engkau piud!” (ungkapan lokal) enggak karena haknya masih ada ya kekhususan tempat itu untuk dirinya sudah masih tetap ada.

“قَالَ أَصْحَابُنَا: وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقُومَ مِنْهُ فِي سَجَّادَةٍ وَلَوْحَةٍ وَهَمْدَةٍ أَمْ لاَ” (Sahabat-sahabat kita mengatakan, “Tidak ada perbedaan antara dia berdiri dari tempat itu dan dia tinggal di tempat itu sejadah atau petanduh atau yang lainnya atau dia tidak tinggalkan sama sekali”). Jadi kalau misalkan dia tinggalkan sejadah kan tahu nih, “Oh ini berarti dia kembali lagi,” gitu. Tapi kalau enggak ada ditinggalkan sama sekali lalu dia kembali lagi sudah dia lebih berhak untuk menempati tempat tersebut dan orang yang baru duduk di situ untuk dia meninggalkan tempat tersebut. Wajib dia meninggalkan tempat tersebut. “فَهَذَا أَحَقُّ بِهِ فِي الْحَالَيْنِ” (Ya, dialah yang lebih berhak dalam kedua keadaan ini). Keadaan mana? Baik dia letakkan sejadah di situ atau petanduh atau dia tidak letakkan. Kalau dia letakkan sudah pasti lagi kan gitu kan. Kalau dia tidak letakkan dia juga tetap dia berhak di tempat itu.

“قَالَ أَصْحَابُنَا: وَإِنَّمَا يَكُونُ فِي الصَّلاَةِ وَحْدَهَا دُونَ غَيْرِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ” (Ulama-ulama Syafi’i mengatakan, “Dia lebih berhak di tempat itu adalah untuk salat tersebut tidak salat berikutnya”). Ya, kalau seandainya dia sudah tahu nih, masuk dia untuk mau salat Ashar. Setelah itu dia setelah salat Ashar pergi dia salat Magrib bukan hak dia lagi di sini gitu ya. Jadi “ketua gak bisa di aku sampai ambo kau risiko hang” (ungkapan lokal), gitu kan ya. Ya. Jadi ee hanya di waktu salat itu misalkan dia sudah datang awal lebih awal sudah duduk mungkin boleh jadi batal wudunya. Dia pergi berwudu walaupun tidak ada petanda nih ya. Maka dia yang lebih berhak di tempat tersebut sampai ya hanya pada waktu salat tersebut ya. Tidak waktu yang lain ya. Jadi tidak ada tempat permanen untuk ketua misalkan ya. Ya “وَاللَّهُ أَعْلَمُ” (Wallahu A’lam). Ah kalau capek dah ya orang yang dahulu itu yang berhak. “وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ” (Wallahu Ta’ala A’lam). Demikian yang dapat kita.

Ada yang mau bertanya? Ya enggak mungkin kalau muazin itu tinggal duduk di belakang gitu pasti dia lebih awal. Hanya saja dia punya kegiatan-kegiatan yang lain. Iya ya. Untuk kemaslahatan enggak apa-apa. Sudah di sama dengan masuk tadi ee tempat duduk yang sudah dikenal ini adalah dipakai oleh orang-orang tadi guru-guru misalnya ya kalau enggak ada tidak ada apa tidak ada isar toleransi di tempat waktu ini enggak ada untuk kebaikan enggak. Kalau seandainya itu adalah punya orang yang khusus, ya enggak boleh. Berarti kita tidak boleh kita memakainya. Tapi kalau itu adalah wakaf, adalah ee fasilitas yang diberikan kepada orang duduk, ya sudah kita pakai ya. Pada umumnya yang ditinggalkan di masjid itu adalah fasilitas umum, ya. Fasilitas umum. Jadi tidak apa namanya ee tidak khusus ya. Kalau khusus ya bawa balik pulang ya. Kalau tinggalkan di masjid adalah untuk masjid tersebut. Karena masjid ini bukan “kaplingan” ya, kaplingan pribadi.

Hukum Shalat Anak-anak di Saf

Kalau seandainya dia belum “مُمَيِّزٌ” (mumayyiz – bisa membedakan), maka tidak boleh. Karena belum mumayyiz salatnya belum sah. Kalau di bawah dari umur ee 7 tahun atau di bawah dari 6 tahun umur 5 tahun ya sudah. Iya. Karena salatnya belum dianggap. Nah, kalau dia sudah mumayyiz maka salatnya sudah sah. Putus safnya ya. Karena salatnya tidak sah. Sama juga enggak ya. Apalagi kalau seandainya sempat mengganggu. Makanya di sini kita sebagai orang tua harus paham bahwa membawa anak itu adalah tujuan kita bawa anak untuk apa? Ee untuk “mengasuh”. Itu susah ya, Mas Haji bukan mengasuh ya. Tapi kalau seandainya untuk mendekatkan dia ke masjid, dia bisa mendekat kalau ada kawan-kawannya se-Masjid. Tapi bukan tujuan kita kan adalah bagaimana dia cinta ke masjid, bagaimana dia cinta salat kan gitu kan. Nah, baru bisa kita arahkan ini kalau seandai sudah mumayyiz, sudah paham dia, sudah tahu dia apa arti sebuah salat, bahwa salat itu bukan main-main, ya. Maka kita harus kita jelaskan, “Nak, kalau salat jangan masjid bukan tempat main, ya.” Kadang-kadang gitu kalau rumah kecil misalkan datang ke masjid, lapang ya berlari-lari kan gitu kan ya. Suatu hal yang bagi anak-anak ya memang itu dunianya ya itu dunianya gitu loh. Enggak bisa juga kita me apa namanya ee memarahinya ya karena itu dunianya. Tapi kalau anaknya adem ya enggak ganggu ya enggak apa-apa.

Contoh Nabi ﷺ dengan Anak-anak dalam Salat

Nabi ﷺ mengajak Hasan dan Husain, ya. Sampai kadang pada satu hari Nabi ﷺ sedang sujud. Mereka berdua sedang bergelut ya, sedang bermain-main di atas punggungnya Rasulullah. Lama sekali Rasulullah sujud sampai sahabat bertanya-tanya apa yang terjadi sama Rasulullah? Ya, ternyata Hasan Husain sedang ya di atas punggungnya. Rasulullah mengatakan setelah salat mengatakan, “Saya tidak mau mengusik kenyamanannya.” Khusyuk enggak salat Rasulullah? Khusyuk ya. Khusyuk itu berarti bukan merasa, bukan mengetahui gitu ya. Enggak. Tapi tahu tapi dia sedang berada di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga Nabi ﷺ juga pernah membawa Umamah ya cucunya dari anak yang pertama itu salat digendong. Beliau salat wajib jadi imam. Nah, jadi ee hal-hal yang seperti itu boleh misalkan anak kita ajak atau bisa ketaruhlah orang orang rumah susah di rumah harus dibawa sudah jaga hal-hal yang berhubungan dengan kebersihan ya kesucian ganti pampersnya pertama sebelum dia datang ke masjid kemudian boleh kita gendong ketika kita mau mau rukuk kita taruh dia di bawah ya. Ketika kita berdiri, kita ambil lagi. Ketika kita sujud, dia taruh kita taruh tengah-tengahnya. Ya, enggak apa-apa. Kalau seandainya misalkan anakku pasnya agak ee keluarnya dari ke belakang hilang menangisnya ya kan dia ada rasa takutnya gitu. Akhirnya dia mencari bapaknya kelihatan. Maka saya melihat “وَاللَّهُ أَعْلَمُ” (Wallahu A’lam) pertama boleh bapaknya sedikit berbeda gerakannya dengan yang lain. Kalau oranglah sujui agak lama sujunya sehingga nampak dia berbeda dengan yang kalau anak nanti, “Eh, nampak oh kau nyapakmu aja,” (ungkapan lokal) ah nanti dia datang. Tapi kalau kedua-duanya bareng semuanya kan enggak kelihatan ya. Ini mana bapaknya mana pada saat itu agak lambat sedikit ya tidak terlambat ya tapi ada lambat sebentar dengan yang lain ya sehingga dia bisa diketahui oleh anaknya akhirnya ya kemarin kalau enggak salah juga saya pikir seperti itu ada anak yang nangis kali ya nah ketika dia sudah dapat bapaknya diam dia gitu. “وَاللَّهُ أَعْلَمُ” (Wallahu A’lam). Mudah-mudahan bermanfaat. Muhammad. “وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ”.

Related Articles

Back to top button