Kajian KitabSyarah Shahih Muslim

Syarah Shahih Muslim : Bab – Orang yang datang ke Suatu Majelis

Bismillahirrahmanirrahim. “اللَّهُمَّ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَزِدْنَا عِلْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً. اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ سَهْلاً.”

Kaum muslimin dan muslimat “رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللَّهُ” (semoga Allah merahmati saya dan kalian). Kembali kita melanjutkan kajian kita tentang hadis-hadis صَحِيحُ مُسْلِمٍ (Sahih Muslim). Di mana kita sudah masuk sekarang ini kepada كِتَابُ السَّلاَمِ (Kitab As-Salam). Kita pelajari dari kitab Sahih Muslim ini dengan syarah Imam An-Nawawi yang mana syarah itu dengan judul الْمِنْهَاجُ شَرْحُ صَحِيحِ مُسْلِمِ بْنِ الْحَجَّاجِ (Al-Minhaj, Syarhu Sahih Muslim Ibnu Hajjaj). كِتَابُ السَّلاَمِ (Kitab As-Salam) adalah kitab mengucapkan salam. Jadi kita akan mempelajari tentang adab-adab mengucapkan salam.

Bab: Orang yang Datang ke Suatu Majelis dan Menemukan Tempat Kosong, Maka Boleh Duduk di Sana. Jika Tidak, Hendaklah Duduk di Belakang Orang Lain

“بَابٌ مَنْ جَاءَ إِلَى مَجْلِسٍ فَوَجَدَ فُرْجَةً فَجَلَسَ فِيهَا وَإِلاَّ وَرَاهُمْ” (Bab orang yang datang ke suatu majelis dan dia menemukan tempat yang kosong, lalu dia boleh duduk di tempat kosong itu. Bila tidak, maka hendaklah dia duduk di belakang orang-orang yang sudah hadir terlebih dahulu darinya). Ini adalah bab tentang bagaimana adab kita bermajelis atau duduk di majelis.

Hadis tentang Tiga Orang yang Datang ke Majelis Nabi ﷺ

“حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى عَقِيلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ نَفَرٌ ثَلاَثَةٌ فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلَقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا وَأَمَّا الآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ عَنِ النَّفَرِ الثَّلاَثَةِ؟ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَآوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الآخَرُ فَأَدْبَرَ فَأَدْبَرَ اللَّهُ عَنْهُ” (Dengan sanadnya kepada Abu Waqid Al-Laitsi bahwasanya Rasulullah ﷺ sedang duduk di dalam satu majelis di masjid bersama para sahabat. Tiba-tiba datang tiga orang. Dua orang datang menghampiri Rasulullah dan yang satu pergi. Lalu dua orang itu berdiri dahulu di dekat Rasulullah atau di halaqah itu. Salah satu di antaranya melihat ada tempat yang kosong di dalam majelis itu, mungkin yang lebih dekat kepada Rasulullah. Lalu dia pergi ke tempat yang kosong itu. Lalu dia duduk di tempat tersebut. Yang kedua dari yang dua tadi, dia tidak mau ke ada kesempatan yang ada kosong, dia tidak, dia duduk di belakang. Adapun yang ketiga, dia berbalik pergi. Setelah Rasulullah selesai menyampaikan pesan-pesannya, lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidakkah kalian aku beritahu tentang ada tiga orang? Adapun yang pertama, dia mendekat kepada Allah, berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena dia mendekat kepada sumber ilmu. Lalu Allah pun melindunginya. Adapun yang kedua, dia malu-malu sehingga dia duduk di belakang. Allah pun malu dari dia. Yang ketiga, dia berpaling. Maka Allah pun berpaling darinya”).

Imam An-Nawawi menjelaskan, di dalam hadis ini terdapat kandungan:

  1. Dianjurkannya Seorang Alim untuk Duduk di Tempat yang Jelas. “فِيهِ اسْتِحْبَابُ جُلُوسِ الْعَالِمِ لِأَصْحَابِهِ بِالْمَسْجِدِ فِي مَوْضِعٍ بَارِزٍ” (Anjuran seorang alim duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya atau yang lain di tempat yang nampak jelas oleh manusia lain). Jadi yang dia berbicara berada di tempat yang lebih agak tinggi sehingga yang lain mengetahui. Nampak? “وَالْمَسْجِدُ أَفْضَلُ” (Masjid itu lebih afdal), ya, tempat berkumpul itu. “فَيُذَكِّرُهُمُ الْعِلْمَ وَالْخَيْرَ” (Di dalam bermajelis itu dia mengingatkan orang-orang yang ada yang hadir tentang ilmu dan tentang kebaikan).
  2. Bolehnya Mengadakan Kelompok Belajar dan Berzikir di Masjid. “وَفِيهِ جَوَازُ حَلَقِ الْعِلْمِ وَالذِّكْرِ فِي الْمَسْجِدِ” (Yang kedua, boleh mengadakan kelompok belajar dan berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam masjid).
  3. Anjuran Menghadiri Majelis Ilmu dan Makruhnya Berpaling Tanpa Uzur. “اسْتِحْبَابُ دُخُولِهَا وَمُجَالَسَةِ أَهْلِهَا وَكَرَاهَةُ الإِعْرَاضِ عَنْهَا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ” (Dianjurkan apabila di masjid itu adalah halaqah, ada halaqah ilmu, ada majelis ilmu, dianjurkan untuk ikut serta masuk dalam kelompok kajian itu atau pengajian itu dan dianjurkan untuk duduk bersama mereka serta dimakruhkan untuk berpaling darinya tanpa uzur, yakni pergi tanpa uzur). Jadi dianjurkan untuk menghadiri masuk ke dalam majelis itu kemudian duduk bersama yang hadir. Kemudian juga makruh hukumnya atau dibenci untuk berpaling atau tidak mengikuti. Jadi kalau kita ke masjid ada majelis ilmu, tentu di sini kita lihat sumbernya ya, sumbernya orang-orang yang terpercaya. Maka kita duduk, makruh hukumnya kita berpaling kecuali ada uzur.
  4. Anjuran Mendekat kepada Pemimpin Majelis Ilmu. “وَاسْتِحْبَابُ الْقُرْبِ مِنْ كَبِيرِ الْحَلَقَةِ لِيَسْمَعَ كَلاَمَهُ سَمَاعًا بَيِّنًا” (Anjuran untuk mendekat kepada pemimpin kelompok pengajian itu. Ya, ini maksudnya mendekat kepada sumber ilmu agar perkataannya dapat didengar dengan pendengaran yang jelas). “وَيَتَأَدَّبَ بِأَدَبِهِ” (dan agar juga dapat beradab atau mengambil adab dengan adab sang guru).
  5. Adab Duduk dalam Majelis Ilmu. “وَقَصْدُ الْحَلَقَةِ إِنْ رَأَى فُرْجَةً دَخَلَ فِيهَا وَإِلاَّ جَلَسَ وَرَاهُمْ” (Orang yang mendatangi majelis ilmu apabila dia melihat ada tempat yang kosong, maka hendaklah dia mendatangi tempat yang kosong itu. Lalu dia duduk di tempat yang kosong. Tapi kalau tidak ada tempat yang kosong, maka cukup dia duduk di bagian belakang). Jadi usahakan, upayakan untuk duduk semakin dekat kepada sumber ilmu.
  6. Pujian bagi Pelaku Kebaikan dan Celaan bagi Pelaku Keburukan yang Diperlihatkan. “وَفِيهِ الثَّنَاءُ عَلَى مَنْ فَعَلَ جَمِيلًا” (Di dalam hadis ini terdapat sanjungan kepada orang yang berbuat perbuatan yang baik, yang indah). “فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَثْنَى عَلَى الاثْنَيْنِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ” (Karena Nabi ﷺ menyanjung dua orang yang hadir di majelis ilmu yang terdapat dalam hadis ini). Karena hadir dalam majelis ilmu itu adalah sebuah kebaikan. “وَالْإِنْسَانُ إِذَا فَعَلَ قَبِيحًا وَمَذْمُومًا وَبَاحَ بِهِ جَازَ أَنْ يُنْسَبَ إِلَيْهِ” (Apabila ada orang yang melakukan perbuatan yang buruk dan tercela, kemudian dia memperlihatkannya perbuatan yang buruk itu terang-terangan kepada orang lain, maka boleh kita menyandarkan amalan itu kepada orang tersebut). Kalau seandainya ada orang yang bangga dia minum keras di hadapan orang, maka kita bisa katakan Fulan peminum, ya, dinisbatkan amalan itu kepada dia.

Makna “آوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ”

“قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلَقَةِ فَدَخَلَ فِيهَا” (Sabda Nabi ﷺ, “Dia melihat ada tempat yang kosong di dalam majelis lalu dia masuk dalamnya.” Yakni ada kesempatan untuk duduk di sana. Dia duduk, ya. Jadi tidak langsung dia, dia tidak langsung duduk ketika dia datang di majelis, tapi dia lihat semakin mendekat kepada sumber ilmu dan ada tempat yang kosong, maka dia mendekat kepada sumber ilmu).

“قَوْلُهُ: أَمَّا أَحَدُهُمْ فَآوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ” (Sabda Nabi ﷺ, “Adapun salah satu di antara mereka, ‘آوَى إِلَى اللَّهِ’ (awa ilallah), yaitu dia berlindung.”). Kalau berlindung tentu dia mendekat, ya. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ” (Ingatlah ketika sekelompok pemuda yang berlindung ke dalam gua). Jadi dia ketika dia semakin mendekat itu namanya dia berlindung mendekat. Ulama mengatakan makna “آوَى إِلَى اللَّهِ” adalah “لَجَأَ إِلَيْهِ” (yaitu lajaa ilaihi menyandar kepadanya ya mendekat kepadanya).

“قَالَ الْقَاضِي: وَأَنَّ مَعْنَاهُ هُنَا دَخَلَ مَجْلِسَ ذِكْرِ اللَّهِ أَوْ دَخَلَ مَجْلِسَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” (Qadi dia mengatakan menurutku maknanya di sini adalah dia masuk ke dalam majelis zikir kepada Allah atau dia masuk ke dalam majelisnya Rasulullah ﷺ). Makna “فَآوَاهُ اللَّهُ” (Allah melindunginya, Allah menerimanya, Allah mendekatkannya). “وَقِيلَ: مَعْنَاهُ رَحِمَهُ اللَّهُ أَوْ آوَاهُ إِلَى جَنَّتِهِ” (Ada juga mengatakan maknanya adalah Allah berikan rahmat kepadanya, Allah masukkan dia ke dalam surga-Nya). Jadi orang yang dekat dengan sumber ilmu, dia akan mendapatkan ilmu lebih jelas. Kalau dia mendapatkan ilmu lebih jelas, maka semakin banyak potensi pengetahuannya tentang kebaikan sehingga dia beramal. Maka inilah yang bisa menyebabkan dia ya masuk ke dalam surga.

“مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ” (Siapa yang keluar mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya dengan ilmu itu satu jalan ke surga). Karena masuk dalam surga itu membutuhkan ilmu. Maka orang yang datang ke majelis kemudian dia mendekat, ya, dia akan mendapatkan rahmat dari Allah. Allah melindunginya dan ilmu semakin banyak akan dia dengar. Lebih konsen dia ya untuk mendengar ilmu dan semakin potensi bagi dia untuk beramal banyak.

Malu dan Berpaling dari Majelis Ilmu

“وَأَمَّا الآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ” (Adapun yang lain, dia malu. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala malu darinya). “أَيْ تَرَكَ الْمُزَاحَمَةَ” (Yakni dia tidak mau berdesak, bersempit-sempit, berdesak-desakan). Malu dia untuk melakukan itu sehingga dia duduk aja di belakang. Karena tadi ada kesempatan, ada tempat yang kosong, dia tetap berusaha untuk duduk di situ. Ya walaupun sedikit tentu ketika dia dapat melihat juga ya. Kalau ini enggak dia malu untuk dilihat oleh orang, duduk dia belakang. “وَتَرَكَ حَيَاءً مِنَ اللَّهِ وَمِنَ النَّبِيِّ وَالْحَاضِرِينَ” (Dia tidak mau melangkahi di depan orang karena malu dari Allah, malu kepada Nabi, malu kepada orang yang hadir). Atau malu darinya “كَمَا فَعَلَتْ فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ” (seperti orang yang pertama tadi). Ya, orang yang ketiga dia berpaling, maka Allah berpaling darinya.

Kalau kita lihat “الأَوَّلُ فِي الْفَضِيلَةِ الَّتِي آوَاهُ اللَّهُ وَبَاسَطَهُ لُطْفُهُ وَقُرْبُهُ” (yang pertama dia berada dalam keutamaan dia mendapatkan rahmat dari Allah, dia mendapatkan kelembutan dari Allah, melindunginya). Ya. Yang kedua, dia malu-malu, maka Allah malu juga. Ya, ini yang pertama kita menetapkan sifat Allah. Sifat malu ya Allah malu. “حِمْبَةٌ” (himba) maka Allah malu dari dia. Dia tidak mau mendekat kepada Allah maka dia tidak akan mendapatkan rahmat dari Allah, ya. Karena Allah malu dari dia. Tidak diazabnya.

“وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ فَأَدْبَرَ اللَّهُ عَنْهُ” (Adapun yang ketiga, dia berpaling, tidak menghadiri majelis. Maka Allah pun berpaling darinya). “أَيْ لَمْ يَرْحَمْهُ” (Yakni Allah tidak merahmatinya). Karena hadis dalam majelis ilmu ada empat manfaat ya. “مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ” (Tidaklah berkumpul orang-orang di salah satu masjid Allah. Dia membaca ayat-ayat Allah, ya, membaca kitabullah dan saling mempelajari antara mereka kecuali diturunkan kepada mereka ketenangan. Rahmat pun turun. Rahmat pun menutupi mereka, yakni menaungi mereka. Malaikat pun mengelilingi mereka. Allah pun menyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya). Maka dahulu para ulama juga mereka menghadirkan anak-anak bayi mereka dalam majelis ilmu untuk mendapatkan rahmat ya hadir karena tempat itu adalah Allah Subhanahu turunkan rahmat kepadanya. Maka ketika dia berpaling dari tempat itu, maka Allah tidak menyayanginya. Allah pun berpaling. Yakni tidak diberikan, tidak dirahmati. “وَقِيلَ: سَخِطَ عَلَيْهِ” (Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala murka kepadanya). Kenapa? Dia sudah di tempat yang baik. Di masjid adalah tempat yang paling baik, paling yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“وَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ ذَهَبَ مُعْرِضًا لاَ لِعُذْرٍ وَلاَ لِضَرُورَةٍ” (Ini dipahami bahwa dia pergi berpaling bukan karena ada uzur atau kedaruratan). Kalau ada uzur, ada keperluan itu tidak apa-apa. Yang dimaksud di sini adalah dia pergi tanpa ada uzur. Berarti ada sesuatu nih, tidak suka dengan majelis ilmu, tidak suka duduk di masjid. Ya. “قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الثَّانِي: أَمَّا الآخَرُ فَاسْتَحْيَا” (Ungkapan beliau dalam yang kedua itu, “Adapun yang kedua yang lain dia malu”). Ya, ini orang-orang yang kadang-kadang ketika dia duduk di majelis ilmu, datang majelis ilmu hanya duduk di belakang-belakang paling paling ujung ya. Ya sudah ilmunya ujung-ujung juga gitu ya. Karena kalau di ujung tuh banyak bisa “nge-cek” HP, bisa dimainkan ya tidak diperhatikan. Tapi sebenarnya orang duduk di depan ini memperhatikan sampai ke belakang-belakang juga ya. Ketahuan ya.

Majelis ilmu kata ulama menuntut ilmu itu adalah amalan sunat yang paling afdal. Karena menuntut ilmu itu penting. Itu adalah ibadah. Sebagaimana salat ibadah, yang lain juga ibadah. Misalkan baca Quran ibadah. Setan berusaha untuk menggoda orang yang sedang beribadah. Ya, menggoda orang yang hadir di majelis ilmu adalah menyibukkan dia dari menuntut ilmu itu sendiri. “لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصَدْرِهِ” (Lai badan di masaji), tapi pikiran entah ke mana-mana, enggak ada gunanya. Ya, dia hadir tapi hatinya tidak hadir. Maka itu dituntut kepada kita hadir kita itu jiwa raga kita harus hadir, pikiran kita harus hadir. Ya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan dua hati dalam satu badan. Enggak mungkin. Ya, termasuk juga misalkan kalau seandainya kita sedang hadir dalam majelis ilmu, kita berzikir. Enggak mungkin zikir tidak tahu apa yang kita ucapkan. Pendengaran pengajian ustaz atau ilmu yang disampaikan enggak bisa kita contoh. Karena Allah tidak jadikan dalam Surah Al-Ahzab, Allah tidak jadikan ada dua hati dalam satu tubuh. Ya, zikir zikir pagi misalkan ya, itu bisa setelah terbit matahari bisa boleh. Dhuha masih boleh ya tidak harus sebelum terbit matahari. Karena sah pagi itu mulai dari setelah salat Subuh sampai sebelum zawal, sebelum tergelincir matahari ke barat. Nah, kalau seandai kita hadir di majelis ilmu kemudian kita sibukkan ya, maka tidak bisa kita mencermati.

Adab Mendengar Kajian: Istima’ dan Insat

Makanya dalam supaya kita bisa paham betul, ada dua konsep yang bisa kita lakukan. Yang pertama “اِسْتِمَاعٌ” (istima’), menyimak. Yang kedua “اِنْصَاتٌ” (insat). “اِنْصَاتٌ” itu adalah menghindari diri dari sebuah kesibukan yang mengganggu “اِسْتِمَاعٌ” kita. Ya. “وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا” (Apabila dibacakan Al-Qur’an maka “اِسْتِمَاعٌ” dengar dengan seksama untuk memahami apa yang kita dengar). “وَأَنْصِتُوا” (dan diam). Tidak melakukan aktivitas yang bisa mengganggu “اِسْتِمَاعٌ”. Jadi ketika kita dibacakan Al-Qur’an di dalam sebuah majelis ya kita pun enggak boleh kesibukan dengan yang lain. Makanya di waktu di waktu apa ee ee khotbah Jumat itu kita tidak hanya “اِسْتِمَاعٌ”, tapi “اِنْصَاتٌ” ya. “اِنْصَاتٌ” itu apa tadi? Dengar seksama tanpa ada kegiatan lain yang bisa mengganggu “اِسْتِمَاعٌ” kita ya. “اِسْتِمَاعٌ” itu menyimak dengan seksama itu. Sebab kalau mendengar saja bisa mendengar mendengar bunyi tapi boleh jadi kita tidak paham. Itu namanya “سَمَاعٌ” (sama’). Tapi “اِسْتِمَاعٌ” adalah menyimak dengan seksama.

Sehingga ketika kita hadir di majelis ee di salat Jumat, tidak boleh kita mengatakan kepada teman kita yang dia mungkin boleh jadi sedang sibuk misalkan atau sedang berbicara lalu kita bilang, “Eh, diam.” Tujuan kita baik mengingatkan dia untuk bisa mendengar khotbah. Tapi kita mengapakan itu ketika khatib sampai sedang menyampaikan khotbah. Apa kata Nabi? “إِذَا قُلْتَ لِأَخِيكَ: أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ” (Jika seandainya engkau mengatakan kepada saudaramu, eh diam, sementara khatib sudah menyampaikan khotbah, maka sungguh engkau telah menyia-nyiakan). Karena ketika kita menyuruh teman kita ini diam, ada enggak perhatian kita ke imam, ke khatib? Enggak. Ke khutbah? Enggak. Karena memang Allah tidak jadikan dua hati di dalam tubuh kita. Ya. Maka ini ketika kita berbicara sini, kita lalai dari khatib. Maka “اِنْصَاتٌ”. “اِنْصَاتٌ” dengan mendengar seksama. Nah, ini yang ee apa namanya? Yang perlu kita perhatikan ya.

Bahwa ketika kita ingin dapatkan pendengaran yang baik, memahami apa yang ee disampaikan, hendaklah ada dua yang kita lakukan, yaitu “اِسْتِمَاعٌ” dan “اِنْصَاتٌ”, mendengar dengan seksama, kemudian diam, tidak beraktivitas yang mengganggu pendengaran dan pemahaman kita ya. “وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ” (Wallahu Ta’ala A’lam). Jadi ini adalah pelajaran adab ketika kita hadir dalam majelis ilmu. Maka di sini anjuran untuk mendekat kepada sumber ilmu. Kalau di kampung-kampung enggak ya. Kalau sudah ee datang apa ee mendengar pengajian ya sudah mendengar aja ya. Duduk di sampai ke di sini kosong nih ya sana gitu. Tambah lagi kadang-kadang ada juga masih ada di masjid-masjid “أَسْبَابٌ” (asbab), ya. Jadi mendengar aja mendengar mendengar pengajian ya bukan belajar.

Jadi ungkapan itu juga memberikan makna ya. Saya sering mengatakan apa perbedaan dengan orang yang datang diklat dengan orang yang datang mendengar pengajian? Ya, orang diklat itu ada enggak yang melenggang? Enggak bawa catatan, enggak bawa penak. Enggak ada. Semuanya menyiapkan semua yang dia perlukan mencatat dan buku catatannya dia kenapa? Dia ikut pelatihan. Ya, karena dia pengin adanya perubahan antara sebelum ikut pelatihan dengan setelah ikut pelatihan. Tapi kalau dengan pengajian ya dengar aja enggak mendengar aja ya sehingga ya sudah dengar karena masuk telinga, keluar sudah, sudah kita tidak dicatat sementara kita sudah meninggalkan seluruh kegiatan-kegiatan kita hadir di majelis ilmu ya sama dengan kita berburu kata Nabi ﷺ, eh kata ulama ya “اَلْعِلْمُ صَيْدٌ وَكِتَابَتُهُ قَيْدُهُ” (Ilmu itu adalah buruan dan penulisannya itu adalah pencatatnya atau pengikat buruan tadi), ya. Kalau kita tidak catat pada saat kita di majelis ini memaguk. Oh, “i i betua petua tua” (ungkapan lokal). Tapi “menjalang ambil motor coba tanya apa yang sampai tadi lupuh boh” (ungkapan lokal). Karena kita tidak seperti Imam Bukhari ya. Ya, Darul Qutni ya. Imam Bukhari. Enggak catat tapi terekam. Kalau kita ya tidak catat ilmunya di luar kepala ya.

“وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ” (Wallahu Ta’ala A’lam). Mudah-mudahan kita bersemangat dalam hadis majelis ilmu ya. Makanya ee merapat kepada sumber ilmu kita ee orang jangan kita menjauh. Karena juga hadis Nabi ﷺ mengatakan ee orang menjauh itu mudah digoda oleh setan ya. Menjauh lebih mudah digoda oleh setan. Kenapa? Karena kambing yang akan diterkam oleh serigala itu mana? Kambing yang terpisah. Ada enggak kambing yang serigala itu langsung menyerang kambing yang “tumpuk”? Enggak. Tapi yang tak jauh-jauh. Ah, setan itu yang jauh-jauh ke yang di “andanya” ya. Ya, agak menjauh yang menyendiri. Ah, itu akan sangat mudah untuk di ya digoda. “وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ” (Wallahu Ta’ala A’lam). Ya mudah-mudahan bermanfaat. Muhammad. “وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ”.

Related Articles

Back to top button