Hadis ke-40: Memendekkan Angan-angan di Dunia
Dari Ibnu Umar رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم memegang bahuku (sebagai bentuk kasih sayang dan kedekatan Nabi), lalu beliau bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau itu adalah orang yang merantau atau seakan-akan engkau sedang melaksanakan perjalanan.”
Mendengar nasihat ini, Ibnu Umar رضي الله عنه berkomentar:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika engkau masuk pada waktu sore, jangan ditunggu-tunggu datangnya subuh. Jika engkau masuk pada waktu subuh, jangan ditunggu-tunggu waktu sore atau petang. Ambillah dari waktu sehatmu untuk waktu sakitmu, dan dari waktu hidupmu untuk kematianmu.”
Hadis ini merupakan dasar pokok dalam masalah memendekkan angan-angan di dunia. Orang mukmin tidaklah pantas menjadikan dunia ini sebagai tempat tinggal selamanya atau tempat kenyamanan. Hendaklah ia menjadikan dunia ini seakan-akan ia sedang melaksanakan perjalanan. Seperti seorang musafir yang hanya singgah sebentar, pikirannya hanya bagaimana perbekalannya cukup untuk mencapai tujuan.
Wasiat ini sesuai dengan firman Allah سبحانه وتعالى dalam Surat Ghafir ayat 39: “Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini kesenangan sementara, dan sesungguhnya akhirat itulah kampung kenyamanan (kampung yang abadi).”
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Perumpamaanku dengan perumpamaan dunia adalah seperti seorang yang bersafar kemudian beristirahat sejenak di bawah pohon, lalu ia melanjutkan perjalanan dan meninggalkan pohon itu.” Ini berarti kita hanya singgah sebentar di dunia.
Kondisi Orang Mukmin di Dunia:
Orang mukmin yang yakin tidak akan berlama-lama di dunia, hendaknya berada dalam salah satu dari dua keadaan:
- Seakan-akan sebagai perantau (غَرِيبٌ): Ia tinggal di negeri orang lain untuk sementara, hatinya tetap terpaut pada kampung halamannya di akhirat. Ia tidak berlomba-lomba membangun kemegahan dunia seperti penduduk asli, melainkan fokus mengumpulkan bekal untuk kembali ke kampung halamannya (akhirat). Allah سبحانه وتعالى berfirman: “Carilah kampung akhirat dengan apa yang Allah berikan kepadamu, dan jangan lupakan jatahmu di dunia.”
- Siapa yang akhirat menjadi orientasi hidupnya, Allah سبuhane وتعالى akan menjadikan kekayaan di hatinya, mempermudah urusannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.
- Sebaliknya, siapa yang dunia menjadi orientasi hidupnya, Allah سبuhane وتعالى akan menjadikan kefakirannya di hadapan mata, mempersulit urusannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah digariskan.
- Seakan-akan sebagai musafir (عَابِرُ سَبِيلٍ): Ia tidak pernah menetap, hanya singgah sebentar lalu melanjutkan perjalanan. Hidup di dunia seperti perjalanan menuju kematian. Pikirannya hanya bagaimana mempersiapkan bekal terbaik untuk perjalanan tersebut.
Nasihat Ibnu Umar:
Nasihat Ibnu Umar adalah agar kita memanfaatkan waktu sehat untuk beramal saleh sebelum sakit menghalangi, dan waktu hidup sebelum kematian datang.
Lima Kesempatan Emas (Dari Hadis Ibnu Abbas yang disahihkan oleh Hakim):
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Manfaatkan lima kesempatan sebelum datang lima (rintangan):”
- Masa mudamu sebelum datang masa tuamu.
- Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu.
- Waktu kayamu sebelum datang kefakiranmu.
- Waktu lapangmu sebelum datang waktu sibukmu.
- Waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu.
Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia lalai dan tertipu: waktu sehat dan waktu lapang. Oleh karena itu, wajib bagi orang mukmin untuk bergegas melaksanakan amal saleh sebelum tidak mampu atau ada penghalang. Jika kesempatan terlewat, hanya akan tersisa penyesalan.
Allah سبحانه وتعالى menceritakan tentang penyesalan orang di akhirat dalam Surat Az-Zumar ayat 54-58 dan Al-Mukminun ayat 99-100. Mereka ingin kembali ke dunia untuk beramal saleh, namun itu mustahil. Penyesalan di kuburan tidak ada gunanya.
Dalam Surat Al-Munafiqun ayat 10-11, Allah سبحانه وتعالى mengingatkan bahwa amalan terbesar yang dapat dilakukan adalah bersedekah dengan harta. Ketika kematian datang, orang akan berkata: “Ya Allah, kalau seandainya bisa Engkau tangguhkan barang sejenak, aku ingin bersedekah dan menjadi orang-orang yang saleh.” Ini menunjukkan betapa besar nilai sedekah. Sedekah tidak akan mengurangi harta, melainkan memindahkannya ke dalam pembukuan akhirat.
🟤 Tanya Jawab Lanjutan Kajian
1. Apakah Kesalahan karena Ketidaktahuan Termasuk Dosa Jariyah Jika Diikuti Orang Lain?
Jika seseorang melakukan kesalahan karena tidak tahu, lalu orang lain menirunya, maka:
- Ia tidak berdosa jika benar-benar tidak tahu dan tidak sengaja menyebarkan kesalahan.
- Namun, jika setelah tahu bahwa itu keliru tidak meluruskan atau tetap menyebarkan, maka bisa menjadi dosa jariyah karena menyebabkan orang lain tersesat.
2. Apakah Ada Kisah Orang Hilang Dibawa Jin?
Pertanyaan: “Apakah dalam sirah nabawiyah ada kisah orang hilang dibawa jin sehingga tidak ditemukan?”
Jawaban: Tidak ada kisah semacam itu dari sahabat. Namun, ada riwayat bahwa Nabi ﷺ pernah dibawa oleh para jin untuk berdakwah.
Adapun manusia yang hilang dan diisukan dibawa jin, tidak ada riwayat sahih yang menguatkan hal tersebut. Maka, dalam hal seperti ini tidak perlu berspekulasi, cukup bertawakal dan bersandar kepada Allah.
3. Hukum Boncengan dengan Saudara Sesusuan
Jika seseorang boncengan dengan perempuan yang merupakan saudara sesusuan, maka:
يُحَرَّمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يُحَرَّمُ مِنَ النَّسَبِ
“Diharamkan karena susuan sebagaimana diharamkan karena nasab.”
Artinya, saudara sesusuan sama hukumnya dengan saudara kandung. Maka tidak masalah jika boncengan selama tetap menjaga adab.
4. Mana yang Didahulukan: Tamu atau Salat Berjamaah di Masjid?
Jika akan salat ke musala lalu datang tamu:
➤ Tetap pergi salat, dan ajak tamu ke masjid.
Ini adalah cara terbaik menggabungkan dua kebaikan: menjaga tamu dan salat berjamaah.
5. Apa yang Lebih Dicintai: Harta Ahli Waris atau Harta Kita?
Nabi ﷺ bersabda:
“Harta kamu adalah apa yang kamu makan, pakai, atau infakkan. Adapun yang kamu simpan, itu adalah milik ahli warismu.”
Maka, gunakanlah harta untuk amal saleh selama masih hidup. Jangan semuanya ditabung untuk keturunan, sementara diri sendiri tak punya bekal akhirat.
6. Bolehkah Mengikuti Pendapat Ulama yang Lemah karena Dalilnya Lemah?
Jika Anda tahu suatu pendapat berdalil lemah atau bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak boleh diikuti, walaupun itu berasal dari ulama.
Namun, jika kedua pendapat punya landasan dalil, walaupun berbeda:
- Kita bisa menghormati perbedaan.
- Tapi wajib mengambil yang lebih kuat sesuai pemahaman kita terhadap dalil.
Contoh:
Masalah tawaf, apakah harus wudhu atau tidak?
- Jumhur ulama: harus dalam keadaan suci.
- Pendapat lain (misal Ibn Taimiyyah): tidak disyaratkan wudhu.
→ Jika terjadi kasus darurat (batal wudhu saat tawaf), maka ada ruang kemudahan mengambil pendapat yang lebih ringan untuk kondisi tertentu.
7. Apakah Takdir Bisa Berubah Jika Kita Serius Beramal?
رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Pena telah diangkat, lembaran telah kering.”
Artinya: takdir sudah ditulis, tidak berubah.
Namun, kita diperintahkan untuk beramal, dan usaha kita bagian dari takdir.
Misal:
- Seorang pejabat yang bekerja ikhlas karena Allah, maka urusannya dipermudah, amanahnya berkah.
- Seorang yang mengejar jabatan duniawi semata, maka jiwanya sempit, penuh kecemasan dan sering gagal.
Penutup
Kajian ini ditutup dengan pengingat dari Al-Qur’an bahwa:
اللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui.”
وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ
“Apa yang kalian persembahkan untuk diri kalian berupa kebaikan, kalian akan temukan di sisi Allah.”
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.