Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, kita memuji Allah سبحانه وتعالى atas segala nikmat dan karunia-Nya. Salawat dan salam semoga dianugerahkan Allah سبحانه وتعالى kepada Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Kita lanjutkan kajian kita dari Hadis Arbain Nawawiyah, yaitu Hadis ke-32: Tidak Boleh Memberikan Mudarat (Sengaja ataupun Tidak).
Hadis ke-32: Larangan Menimbulkan Kerugian dan Kewajiban Membuktikan Klaim
Dari Abu Said Sa’ad bin Malik bin Sinan al-Khudri رضي الله عنه, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh ada mudarat (bahaya) dan tidak boleh memudaratkan (membahayakan orang lain).”
Hadis ini telah menjadi kaidah kulli (kaidah umum) atau kaidah fikih yang fundamental, yang berarti tidak boleh ada tindakan yang memudaratkan diri sendiri maupun orang lain.
Makna “Dharar” (ضَرَرٌ) dan “Dirar” (ضِرَارٌ)
Menurut ulama, kedua kata ini memiliki makna yang berbeda:
- Dharar (ضَرَرٌ): Seseorang menimpakan celaka kepada orang lain, yang mana bagi dirinya ada manfaat dalam mencelakakan orang lain itu. Contoh: memudaratkan usaha orang lain agar usahanya sendiri maju.
- Dirar (ضِرَارٌ): Seseorang menimpakan mudarat kepada orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak mengambil manfaat dari mudarat tersebut. Contoh: Menghalangi orang lain dari air padahal ia sendiri tidak membutuhkannya, tetapi orang lain sangat membutuhkan dan menjadi mudarat.
Kesimpulannya, hadis “لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ” berarti tidak boleh ada tindakan mencelakakan orang lain, baik dengan tujuan mendapatkan manfaat bagi diri sendiri maupun tanpa manfaat bagi diri sendiri.
Kezaliman Diharamkan
Ini sejalan dengan Hadis Qudsi di mana Allah سبحانه وتعالى berfirman:
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا
“Wahai anak Adam, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan telah Aku jadikan kezaliman itu sesuatu yang diharamkan di tengah-tengah kalian. Maka jangan saling menzalimi.”
Zulm (ظُلْمٌ) adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, seperti mengatakan yang salah itu benar atau menghalangi hak orang lain. Mudarat tidak sama dengan kezaliman. Mengganggu orang lain adalah mudarat, tetapi belum tentu zalim.
Konsekuensi Hukum dan Balasan
Apabila seseorang melakukan pelanggaran hukum Allah (misalnya mencuri) dan dihukum (misalnya dipotong tangan), bukankah itu memudaratkan? Ya, tetapi itu adalah hak (melaksanakan hukuman).
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
“Dan balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal dengannya.”
Ini dinamakan Qisas (قِصَاصٌ). Jika seseorang membunuh tanpa hak, lalu diqisas, itu bukan kezaliman lawan kezaliman, melainkan balasan yang setimpal. Begitu pula luka dibalas luka, mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, sesuai ketentuan syariat.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa manusia ada tiga tipe ketika disakiti oleh orang lain:
- Membalas dengan setimpal: Ini diperbolehkan secara aturan, tetapi tidak mendapatkan pahala.
- Memaafkan dan berdamai: Ini lebih baik dan akan mendapatkan pahala dari Allah سبحانه وتعالى.
- Melakukan kezaliman (membalas lebih dari setimpal): Ini adalah kezaliman, dan Allah سبحانه وتعالى tidak mencintainya.
Jadi, hadis “لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ” secara umum berarti tidak boleh ada kemudaratan yang tanpa hak.
Agama Islam itu Mudah dan Penuh Toleransi
Hadis ini juga menunjukkan bahwa agama kita adalah agama yang penuh toleransi dan mudah.
- Allah سبحانه وتعالى tidak pernah membebani hamba-Nya dengan apa yang memudaratkan mereka. Semua perintah Allah adalah kebaikan dan keselamatan dunia akhirat, sedangkan semua larangan Allah adalah kerusakan dunia akhirat.
- Allah سبحانه وتعالى menggugurkan kewajiban bersuci dengan air bagi yang sakit (diganti tayamum) dan kewajiban puasa bagi yang sakit atau musafir, karena jika dipaksakan akan memudaratkan mereka.
- Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Apa yang Aku perintahkan kepadamu, kerjakanlah sebagian yang mampu kamu lakukan.” (Contoh: salat berdiri, jika tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka berbaring).
- Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang Hanif (lurus) dan penuh toleransi (سامحة).”
- Seorang mukmin itu bertoleransi saat menjual dan membeli.
- Allah سبحانه وتعالى berfirman: “Tidak menjadikan bagimu dalam agama ini hal yang menyusahkan.” Dan “Bertakwalah kepada Allah semaksimal kalian.”
- Nabi صلى الله عليه وسلم pernah melihat seseorang yang bernazar haji dengan berjalan kaki, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan kepada jalan kakinya, suruh dia naik kendaraan.” Ini menunjukkan larangan menyiksa diri sendiri.
- Nabi صلى الله عليه وسلم juga melihat orang yang wukuf di Arafah tanpa berteduh dan berpuasa (saat itu sunah tidak berpuasa), lalu beliau menyuruhnya untuk berteduh, duduk, dan membatalkan puasa.
Ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh mencelakakan diri sendiri atau orang lain.
Hadis ke-33: Bukti dan Sumpah dalam Perselisihan
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ
“Seandainya manusia diberi berdasarkan dakwaan mereka, sungguh orang-orang akan mendakwakan harta orang lain dan darah mereka.”
وَالْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
“Akan tetapi, bukti harus didatangkan oleh orang yang mendakwahkan, dan sumpah bagi orang yang mengingkari.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan lainnya, sebagian penggalannya juga ada di Sahih Bukhari Muslim.
Penjelasan:
- Al-Bayyinah (الْبَيِّنَةُ) = Bukti: Harus didatangkan oleh orang yang mendakwahkan sesuatu (penuntut/penggugat). Bukti ini bisa berupa saksi (minimal dua orang laki-laki), dokumen, atau lainnya. Dengan bukti, ia dapat membuktikan kepemilikan haknya.
- Al-Yamin (الْيَمِينُ) = Sumpah: Dilakukan oleh orang yang mengingkari atau tertuduh. Dengan sumpah, ia dapat menggugurkan tuntutan.
Contoh Kisah (Asad bin Qais):
Asad bin Qais berselisih dengan orang lain mengenai sebuah sumur. Ketika datang kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, beliau menuntut Asad bin Qais untuk mendatangkan saksi. Jika tidak ada saksi, maka orang yang mengingkari harus bersumpah.
Nabi صلى الله عليه وسلم juga mengingatkan: “Siapa yang bersumpah dengan sebuah sumpah yang dengannya dia mengambil harta orang lain, sedangkan dia berbohong di dalamnya, maka dia akan bertemu dengan Allah nanti dalam keadaan Allah murka kepadanya.”
Kaedah Hukum Universal:
Imam Ibnu Mundzir mengatakan: “Ulama sepakat bahwa bukti harus didatangkan oleh orang yang mendakwahkan, dan sumpah terhadap orang yang terdakwah (yang mengingkari).” Kaedah ini juga menjadi dasar dalam hukum positif di berbagai negara.
Kasus Khusus (Barang Temuan):
Dalam kasus barang temuan, orang yang mendakwahkan tidak perlu mendatangkan bukti yang konkret. Cukup dengan memberikan sifat-sifat barang tersebut dengan detail dan akurat. Jika ia dapat menyebutkan sifat-sifat yang sesuai, barang itu diberikan kepadanya tanpa bukti lain. Namun, ada ulama yang mengatakan harus sesuai persis dengan kriteria barang.
Sikap Kita dalam Keadilan:
Sebagai Muslim, kita harus memahami kaedah ini dalam kehidupan sehari-hari, bahkan jika kita bukan penegak hukum. Jika ada yang menuduh kita berhutang atau mengambil sesuatu, kita berhak meminta bukti kepada penuduh. Jika ia tidak bisa mendatangkan bukti, dakwaannya tidak bisa diterima.
Jika kita diminta menjadi penengah dalam perselisihan, kita harus meminta bukti dari pihak yang mendakwahkan. Jika tidak ada bukti, minta pihak yang didakwahkan untuk bersumpah. Jika ia sudah bersumpah, maka gugurlah tuntutannya di dunia. Adapun di akhirat, akan ada peradilan Allah سبحانه وتعالى yang Maha Adil.
Tanya Jawab:
- Haji yang Lebih Sulit vs. Haji yang Lebih Nyaman: Hadis tentang tingkat kesulitan yang menentukan pahala (pahalamu sesuai dengan tingkat kesusahan dan kepayahan yang engkau rasa) adalah motivasi untuk beramal lebih. Namun, Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri saat haji menggunakan kendaraan dan pernah tawaf di atas unta. Artinya, menggunakan fasilitas yang memudahkan (misalnya paket haji plus) itu boleh, dan tidak berarti mengurangi pahala, selama niatnya tetap karena Allah. Kualitas pelayanan yang lebih baik bisa membuat kita lebih fokus beribadah.
- Berdoa dalam Bahasa Arab vs. Bahasa Indonesia: Dalam berdoa, penting untuk yakin bahwa doa dikabulkan. Keyakinan ini muncul jika kita tahu apa yang kita doakan. Jika tidak bisa berbahasa Arab, berdoa dalam bahasa Indonesia dengan memahami maknanya itu lebih baik. Namun, jika mengetahui doa-doa berbahasa Arab (dari Al-Qur’an atau Hadis) dan memahami maknanya, itu lebih utama karena lafaz-lafaz tersebut sudah dipilih dan maknanya luas. Contoh doa Nabi صلى الله عليه وسلم untuk melunasi hutang tanpa menyebut kata hutang.
- Hukum Pajak: Pajak yang dikenakan oleh pemerintah (misalnya di Arab Saudi) dan ulama tidak berkomentar, menunjukkan bahwa tidak semua pajak diharamkan. Pajak bisa dibolehkan jika negara membutuhkan dan digunakan untuk kemaslahatan umum.
- Promo “Bayar Sekali Makan Sepuasnya”: Ini mengandung unsur gharar (ketidakjelasan/penipuan). Ini seperti “buffet terbuka.” Ada ulama yang membolehkan jika sudah termasuk dalam harga kamar hotel (include), karena yang dibeli adalah penginapan, bukan makan sepuasnya secara terpisah. Namun, jika membeli terpisah hanya untuk makan sepuasnya, itu bisa mengandung gharar karena ada ketidakjelasan takaran yang akan dimakan.
- Standar Bacaan Sumpah: Tidak ada standar bacaan khusus dalam bersumpah. Yang jelas, dia bersumpah demi Allah atas apa yang dituduhkan.
- Dampak Sumpah Palsu di Dunia: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Boleh jadi sebagian kalian lebih kuat hujahnya kepada sebagian yang lain. Hanya saja saya memutuskan sesuai apa yang zahir. Siapa yang aku berikan kepadanya hak saudaranya (padahal bukan haknya), maka sesungguhnya itu adalah potongan api neraka yang saya berikan kepadanya.” Artinya, meskipun secara hukum dunia dia menang karena bukti palsu, itu tidak menghalalkannya dan akan menjadi azab di akhirat.
- Menyikapi Pengemis/Peminta Belas Kasihan: Jika kita mendapati saudara mukmin yang meminta belas kasihan namun ada kekhawatiran modus penipuan, berikanlah sesuai kemampuan kita (misalnya Rp50.000 atau Rp20.000). Jika setelah itu kita tahu itu modus penipuan, kita sudah mendapatkan pahala dari pemberian kita, dan ke depan kita bisa tidak memberinya lagi. Nabi صلى الله عليه وسلم tidak pernah menolak orang yang meminta. Jika memudaratkan, boleh dilaporkan ke pihak berwajib.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.