Syarah Shahih Muslim: Bab – Tentang kedermawanan Nabi ﷺ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَانْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَزِدْنَا عِلْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا. اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا. يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ نَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ وَلَا تَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ.
Kaum muslimin dan muslimat رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللهُ. Kembali kita melanjutkan kajian kita pagi ini. Dan kita selalu mohon kepada Allah semoga curah hujan yang Allah berikan memberikan berkah, اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا (Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat). Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keringanan dan kemudahan kepada saudara-saudara kita yang ditimpa musibah atau ujian dalam masa-masa sekarang ini, yaitu banjir dan yang lainnya.
Kembali kita melanjutkan kajian kita. Satu hadits yang masih tersisa dari bab yang kemarin tentang kedermawanan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bahwasanya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah diminta akan sesuatu lalu beliau menjawab “Tidak”. Artinya Nabi tidak pernah mengatakan tidak setiap kali diminta, dan (tentang) banyaknya pemberian yang beliau berikan.
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ ابْنِ الْمُنْكَدِرِ، أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ … ح وَحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرٍ، وَعَنْ عَمْرٍو، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ جَابِرٍ، أَحَدُهُمَا يَزِيدُ عَلَى الْآخَرِ … ح وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، وَاللَّفْظُ لَهُ، قَالَ: قَالَ سُفْيَانُ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُنْكَدِرِ يَقُولُ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ قَالَ – قَالَ سُفْيَانُ: وَسَمِعْتُ أَيْضًا عَمْرَو بْنَ دِينَارٍ يُحَدِّثُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ، وَزَادَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:
(Diriwayatkan) dengan sanadnya kepada Jabir bin Abdillah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, dia berkata, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
لَوْ قَدْ جَاءَنَا مَالُ الْبَحْرَيْنِ لَقَدْ أَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا
“Kalau seandainya harta kekayaan Bahrain berhasil kita dapat (dan harta itu datang), pasti aku akan memberimu sekian, sekian, dan sekian.”
وَقَالَ بِيَدَيْهِ جَمِيعًا (Nabi mengisyaratkan dengan kedua tangannya). Jadi saya kasih kamu hartanya begini, begini, begini (dengan isyarat genggaman tangan).
فَقُبِضَ النَّبِيُّ ﷺ قَبْلَ أَنْ يَجِيءَ مَالُ الْبَحْرَيْنِ (Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ wafat sebelum harta Bahrain itu datang/sebelum harta Bahrain itu didapatkan). فَقَدِمَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ بَعْدَهُ (Lalu harta itu, harta Bahrain itu datang pada zaman Abu Bakar). Yakni setelah Nabi meninggal dunia yang menggantikan Nabi adalah Abu Bakar. Pada zaman pemerintahan Abu Bakar itu datanglah harta tersebut.
فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى: مَنْ كَانَتْ لَهُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ عِدَةٌ أَوْ دَيْنٌ فَلْيَأْتِ
(Lalu Abu Bakar memerintahkan seorang yang mengumumkan/menyeru: “Siapa yang memiliki janji atau hutang atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam—yakni siapa yang pernah dijanjikan oleh Nabi, siapa yang punya piutang terhadap Nabi—hendaklah dia datang.”)
فَقُمْتُ فَقُلْتُ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: لَوْ قَدْ جَاءَنَا مَالُ الْبَحْرَيْنِ لَأَعْطَيْتُكَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا
(Lalu aku berdiri—yakni Jabir bin Abdillah—lalu aku katakan: “Sesungguhnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda: ‘Kalau seandainya harta Bahrain telah kita dapatkan, maka niscaya aku akan memberimu segini, segini, segini’.”)
فَحَثَى أَبُو بَكْرٍ مَرَّةً (Lalu Abu Bakar menciduk/mengambil sepenuh kedua tangannya, lalu dikasihkan kepada Jabir). ثُمَّ قَالَ لِي: عُدَّهَا (Kemudian Abu Bakar berkata kepadaku: “Hitunglah”). فَعَدَدْتُهَا فَإِذَا هِيَ خَمْسُ مِائَةٍ (Lalu aku hitunglah apa yang telah diambil/genggaman yang diberikan oleh Abu Bakar kepadanya. Ternyata jumlahnya adalah 500).
فَقَالَ: خُذْ مِثْلَيْهَا
(Lalu Abu Bakar mengatakan: “Ambil dua kali lagi [seperti itu].”)
Karena Nabi pernah mengatakan, “Saya akan kasihkan kepada engkau sekian, sekian, sekian.” Yakni Imam Nawawi mengatakan: خُذْ مَعَهَا مِثْلَيْهَا (“Ambillah bersama genggaman yang pertama dua yang sepertinya [dua genggaman lagi]”). Ketika dihitung jadi berapa semuanya? فَيَكُونُ الْجَمِيعُ أَلْفًا وَخَمْسَمِائَةٍ (Sehingga masing-masing/keseluruhannya menjadi 1.500). لِأَنَّ لَهُ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ (Karena baginya tiga kali genggaman/cidukan).
وَإِنَّمَا حَثَى لَهُ أَبُو بَكْرٍ بِيَدِهِ لِأَنَّهُ خَلِيفَةُ رَسُولِ اللهِ ﷺ (Abu Bakar memberikan genggaman dengan tangannya kepada Jabir bin Abdillah karena Abu Bakar merupakan pengganti dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). فَيَدُهُ قَائِمَةٌ مَقَامَ يَدِهِ (Maka tangan Abu Bakar adalah pengganti/menempati posisi tangan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). وَكَانَ لَهُ ثَلَاثُ حَثَيَاتٍ بِيَدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ (Maka baginya [Jabir] berhak mendapatkan tiga kali genggaman dengan tangannya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).
Faedah yang bisa kita ambil dari hadits ini adalah yang pertama: إِنْجَازُ الْوَعْدِ (melaksanakan janji/memenuhi janji yang telah diberikan). Rasulullah pernah berjanji lalu dilaksanakan oleh Abu Bakar.
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْجُمْهُورُ: إِنْجَازُهَا وَالْوَفَاءُ بِهَا مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ
(Imam Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum memenuhi janji seperti itu hukumnya adalah sunat/dianjurkan, bukan wajib atau tidak wajib). Jadi mengeksekusi dan menunaikan janji tersebut hukumnya dianjurkan.
وَأَوْجَبَهُ الْحَسَنُ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ (Hasan Al-Bashri dan sebagian dari ulama Malikiyah mewajibkannya).
Begitu juga janji yang pernah dibuat oleh orang tua kita. Kalau seandainya orang tua kita pernah berbuat janji kepada orang lain, ini adalah bagian dari birrul walidain kita. Sebagaimana dalam hadits sahabat bertanya, apa kata sahabat?
هَلْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا؟
“Apakah masih tersisa terhadapku dari bentuk baktiku kepada kedua orang tuaku yang bisa aku lakukan setelah mereka meninggal dunia?”
Yakni setelah meninggal dunia apakah masih ada bentuk bakti kepada orang tuaku? Seakan-akan sahabat ini memandang bahwa bakti kepada orang tua itu ketika mereka masih hidup. فَقَالَ: نَعَمْ (Nabi mengatakan: “Iya”).
- الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا (Mendoakan keduanya, termasuk menyalatkan/menyalatkan mayatnya). Menyalatkan bukan berarti menjadi imam, tidak ada sunnahnya; tidak pernah Nabi menganjurkan yang menjadi imam itu harus anaknya. Tidak. Tapi Nabi mengatakan menyalatkannya dan mendoakannya. Yang menjadi imam itu tetap orang yang berhak menjadi imam. Terkadang anak enggak pernah salat jenazah, malahan enggak pernah salat, malah keliru gitu loh. Nanti dibikinnya rukuk gimana?
- وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا (Yang kedua, meminta ampunkan untuknya). Apa bedanya mendoakan dengan meminta ampunkan? Minta ampunkan: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ (“Ya Allah ampuni aku dan orang tuaku”), itu istighfar. Doa: وَارْحَمْهُمَا (“Kasihilah mereka”), yakni doa kebaikan. Istighfar minta ampunkan. Faedah dari meminta ampunkan untuk orang tua kita yang sudah meninggal dunia: Setiap anaknya memohon ampunan untuk orang tuanya kepada Allah, derajatnya ditinggikan, derajatnya diangkat. Maka ini menunjukkan bahwa manfaat dari amalan yang mengalir terus ada di antaranya doa anak yang saleh.
- وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا (Menunaikan janji mereka setelah mereka meninggal dunia). Nah ini dia, pernah berjanji kepada tetangga, mungkin kepada kawannya, mungkin termasuk juga kepada anaknya ya. Janji memberikan sesuatu yang di mana anak-anak yang lain sudah dikasih, tinggal ada yang belum dikasih, dia sudah dijanjikan, maka ditunaikan dulu janji tadi. Nah, termasuk yang dilakukan oleh Abu Bakar di sini adalah janji yang pernah dijanjikan oleh Nabi kepada Jabir bin Abdillah. Nah, untuk orang tua kita, sebagai tanda kita bakti kita pada orang tua kita adalah menunaikan janji, termasuk wasiat. Termasuk wasiat. Hanya saja wasiat tidak boleh untuk ahli waris. Janji ya, janji berbeda ya, janji berbeda.
- وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا (Menjalin hubungan rahim/kekerabatan yang mana tidak mungkin disambung kecuali melalui mereka berdua). Nah, apa itu maksudnya? Seperti misalkan baku orang tua, baku ayah. Baku gitu sudah jelah kita. Biasanya kan kalau ayah sudah meninggal, keluarga ayah menjadi jauh. Baku ke jauh, apai bako ayah. Jadi hanya penghubungnya itu adalah ayah, gitu. Bako ayah, anak pisang ayah. Ini perlu kita jalin juga. Begitu juga dengan emak kita, ibu kita. Bako ama, anak pisang ama, ya. Karena haknya mereka menghubunginya mereka.
- وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا (Dan yang kelima, memuliakan teman-teman mereka).
Kata Syekh Abdurrazzaq, di sinilah pentingnya kita memperkenalkan teman-teman kita kepada anak-anak. Jika seandainya ada tamu datang, jangan langsung diusir anak ini. Kadang-kadang kita, “Eh ada tamu, gak usah di sini, belakang semuanya,” gitu. Enggak, kenalkan dulu anak kita dengan mereka, kepada anak kita ya. Setelah itu baru disuruh dia untuk bermain ya ke tempat lain. Untuk apa gunanya? Ini dia akan menjalin hubungan dengan teman-teman kita dan keluarga teman kita.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar. Abdullah bin Umar pernah satu hari dia bersafar dari Madinah ke Makkah. Di tengah jalan dia ketemu dengan seseorang. Lalu dia katakan, “Apakah engkau anak si Fulan?” Lalu jawab, “Iya.” Lalu imamah yang dia pakai dikasihkan kepada dia. Keledai yang dia pakai untuk bersafar—orang Arab itu kalau safar jauh dia punya dua kendaraan, keledai dan unta; ya bosan naik unta naik keledai, ya kecil tuh tapi kuat, itu kalau naik unta terus pasti agak lambat kan, naik unta ha gitu menghilangkan kebosanan—nah dia kasih.
Lalu muridnya dia mengatakan, “Ini orang Badui, apa tidak cukup dia 1 dirham 2 dirham sudah cukup, bab gede (terlalu besar) dia 1000-2000 aja gah (sudah) lah dia kan?” Apa kata Umar [Ibnu Umar]? “Enggak, dia ini adalah anak temannya Umar.” Ya. Nah, ini perlu kita kenalkan kepada anak-anak kita bagian dari bentuk birrul walidain.
Ya, yang menjadi penyebab kita membahas ini adalah janji Rasulullah kepada Jabir bin Abdillah, lalu ditunaikan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Begitu juga kalau seandainya orang tua kita punya janji kepada seseorang belum terpenuhi, belum tertunaikan, maka hendaklah kita menunaikannya. Wallahu Ta’ala A’lam.
Demikian yang dapat kita sampaikan. Semoga nanti kita membahas adab-adab lain atau karakter Nabi, sifat Nabi yang lain yang menjadikan beliau lebih unggul, lebih utama, lebih mulia. Yaitu di antaranya adalah kasih sayang beliau kepada anak-anak, kepada keluarga beliau, dan tawadhu beliau. Ya, semoga insyaallah Allah berikan kemudahan bagi kita untuk mempelajarinya.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
