Menelaah Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nama/Kunyah Nabi ﷺ

Mari kita telaah keterangan para ulama mengenai hadits ini. Imam An-Nawawi menyebutkan:
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي هَٰذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَىٰ مَذَاهِبَ كَثِيرَةٍ
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dalam banyak pandangan/mazhab). Al-Qadhi Iyadh dan ulama lainnya وَجَمَعَ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ
(wa jamaʿa al-Qāḍī wa ghayruhū) berusaha mengumpulkan berbagai perbedaan pendapat ini.
Berikut adalah beberapa pandangan ulama tersebut:
- Pendapat Pertama (Mazhab Asy-Syafi’i dan Ahluz Zhahir):Menurut mazhab Imam Asy-Syafi’i dan kelompok Zhahiriyah (yang berpegang pada makna literal teks)
أَنَّهُ لَا يَحِلُّ التَّكَنِّي بِأَبِي الْقَاسِمِ لِأَحَدٍ أَصْلًا، سَوَاءٌ كَانَ اسْمُهُ مُحَمَّدًا أَوْ أَحْمَدَ أَمْ لَمْ يَكُنْ
Bahwasanya tidak halal/tidak boleh berkunyah dengan Abu al-Qasim bagi siapa pun, sama sekali. Baik orang tersebut bernama Muhammad atau Ahmad, maupun tidak). Dalil mereka adalah makna lahiriah hadits iniلِظَاهِرِ هَٰذَا الْحَدِيثِ
, yaitu sabda Nabi ﷺ:تَسَمَّوْا بِاسْمِي
Namailah dengan namakuوَلَا تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي
dan janganlah kalian berkunyah dengan kunyahku). - Pendapat Kedua (Mazhab Imam Malik dan Jumhur):Pandangan ini menyatakan
أَنَّ هَٰذَا النَّهْيَ مَنْسُوخٌ
bahwa larangan ini telah dihapus/mansukh.فَإِنَّ هَٰذَا الْحُكْمَ كَانَ فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ
Karena hukum/larangan ini berlaku di awal masa Islam,لِهَٰذَا الْمَعْنَى الْمَذْكُورِ فِي الْحَدِيثِ
disebabkan makna yang terkandung dalam hadits, yang relevan saat Nabi ﷺ masih hidup. Konsekuensinya, jika sudah dihapus,فَيُبَاحُ التَّكَنِّي الْيَوْمَ بِأَبِي الْقَاسِمِ لِكُلِّ أَحَدٍ، سَوَاءٌ مَنِ اسْمُهُ مُحَمَّدٌ أَوْ أَحْمَدٌ وَغَيْرُهُمَا
maka dibolehkan saat ini untuk berkunyah dengan Abu al-Qasim bagi setiap orang, baik yang bernama Muhammad atau Ahmad, maupun selain keduanya. Ini adalah mazhab Imam Malikوَهَٰذَا مَذْهَبُ مَالِكٍ
. Al-Qadhi Iyadh berkata,وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ السَّلَفِ وَفُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ وَجُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ
Pendapat ini juga dipegang oleh mayoritas ulama Salaf, para ahli fikih di berbagai negeri, dan mayoritas ulama. Mereka berargumen bahwaوَاشْتُهِرَ أَنَّ جَمَاعَةً تَكَنَّوْا بِأَبِي الْقَاسِمِ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ وَفِيمَا بَعْدَ ذَٰلِكَ إِلَى الْيَوْمِ، مَعَ فِعْلِ ذَٰلِكَ وَعَدَمِ الْإِنْكَارِ
telah masyhur/terkenal bahwa sekelompok orang telah berkunyah dengan Abu al-Qasim sejak generasi pertama (setelah wafatnya Nabi ﷺ) dan masa sesudahnya hingga hari ini, dan praktik tersebut dilakukan tanpa adanya pengingkaran. - Pendapat Ketiga (Mazhab Ibnu Jarir At-Thabari):Menurut Ibnu Jarir
مَذْهَبُ ابْنِ جَرِيرٍ
, hukum iniأَنَّهُ لَيْسَ بِمَنْسُوخٍ
tidaklah dihapusإِنَّمَا كَانَ النَّهْيُ لِلتَّنْزِيهِ وَالْأَدَبِ، لَا لِلتَّحْرِيمِ
Larangan tersebut hanyalah bersifat tanzih (untuk penyucian/penghormatan) dan karena faktor adab/etika terhadap Rasulullah ﷺ, bukan bersifat pengharaman). Jadi, ini lebih kepada anjuran adab, bukan larangan haram. - Pendapat Keempat (Sebagian Ulama Salaf):Pandangan ini menyatakan
إِنَّمَا كَانَ النَّهْيُ لِلتَّنْزِيهِ وَالْأَدَبِ، لَا لِلتَّحْرِيمِ
(innamā kāna an-nahyu littanzīh wal-adab, lā littahrim)
(bahwa larangan berkunyah Abu al-Qasim itu khusus bagi orang yang bernama Muhammad atau Ahmad saja).وَيُبَاحُ بِالْكُنْيَةِ وَحْدَهَا لِمَنْ لَا يُسَمَّىٰ بِوَاحِدٍ مِنَ الِاسْمَيْنِ
(wa yubāḥu bil-kunyah waḥdahā liman lā yusammā biwāḥidin min al-ismayn). Ini juga merupakan pendapat sekelompok ulama Salafوَهُوَ قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ
(wa huwa qawlu jamāʿatin min as-salaf), dan ada hadits marfu’ dari Jabir yang mendukungnyaوَجَاءَ فِيهِ حَدِيثٌ مَرْفُوعٌ عَنْ جَابِرٍ
(wa jāʾa fīhi ḥadīthun marfūʿun ʿan Jābir). - Pendapat Kelima: Pendapat kelima menyatakan
أَنَّهُ يُمْنَعُ مِنَ التَّكَنِّي بِأَبِي الْقَاسِمِ مُطْلَقًا
bahwa dilarang berkunyah dengan Abu al-Qasim secara mutlak,وَيُمْنَعُ أَيْضًا مِنَ التَّسْمِيَةِ بِالْقَاسِمِ
dan dilarang pula memberi nama anak dengan Qasim,لِئَلَّا يُكَنَّىٰ أَبُوهُ بِأَبِي الْقَاسِمِ
agar ayahnya tidak secara otomatis berkunyah Abu al-Qasim.
Disebutkan bahwa
وَقَدْ غَيَّرَ مَرْوَانُ بْنُ الْحَكَمِ اسْمَ ابْنِهِ عَبْدِ الْمَلِكِ حِينَ بَلَغَهُ هَٰذَا الْحَدِيثُ، وَكَانَ اسْمُهُ أَوَّلًا الْقَاسِمَ. وَفَعَلَهُ بَعْضُ الْأَنْصَارِ أَيْضًا
Marwan bin Hakam telah mengganti nama putranya, Abdul Malik, ketika hadits ini sampai kepadanya. Sebelumnya, nama Abdul Malik adalah Al-Qasim. Sebagian sahabat Anshar juga melakukan hal serupa. (Abdul Malik bin Marwan adalah khalifah Bani Umayyah, ayah dari khalifah-khalifah berikutnya seperti Al-Walid, Sulaiman, dan Hisyam). - Pendapat Keenam ,Terkait Sikap Umar bin Khattab: Pandangan ini menyatakan
أَنَّ التَّسْمِيَةَ بِمُحَمَّدٍ مَمْنُوعَةٌ مُطْلَقًا، كَانَ لَهُ كُنْيَةٌ أَمْ لَا
bahwa memberi nama Muhammad itu terlarang secara mutlak, baik orang tersebut punya kunyah maupun tidak. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits (yang statusnya perlu diteliti):
تُسَمُّونَ أَوْلَادَكُمْ مُحَمَّدًا ثُمَّ تَلْعَنُونَهُمْ؟
Apakah kalian menamai anak-anak kalian Muhammad kemudian kalian melaknat/mencela mereka? Juga didasarkan pada tindakan Umar bin Khattab:لَا تُسَمُّوا أَحَدًا بِاسْمِ نَبِيٍّ
Umar mengirim surat ke Kufah: “Janganlah kalian menamai seorang pun dengan nama nabi”
وَأَمَرَ جَمَاعَةً بِالْمَدِينَةِ بِتَغْيِيرِ أَسْمَاءِ أَبْنَائِهِمُ الْمُسَمَّيْنَ بِمُحَمَّدٍ، حَتَّى ذَكَرَ لَهُ جَمَاعَةٌ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَذِنَ لَهُمْ أَنْ يُسَمُّوا بِهِ، فَتَرَكَهُمْ.
Dan beliau memerintahkan sekelompok orang di Madinah untuk mengganti nama anak-anak mereka yang bernama Muhammad, Hingga ada sekelompok orang yang memberitahukan kepada Umar bahwa Nabi ﷺ telah mengizinkan mereka menamai dengan nama Muhammad, barulah Umar membiarkan mereka.
Al-Qadhi Iyadh menjelaskan sikap Umar ini:قَالَ الْقَاضِي: وَالْأَشْبَهُ أَنَّ فِعْلَ عُمَرَ هَٰذَا إِعْظَامٌ لِاسْمِ النَّبِيِّ ﷺ
Menurut Al-Qadhi: Yang lebih tepat adalah bahwa perbuatan Umar ini merupakan bentuk pengagungan terhadap nama Nabi ﷺ),لِئَلَّا يُنْتَهَكَ الِاسْمُ
agar nama tersebut tidak dilecehkan,كَمَا سَبَقَ فِي الْحَدِيثِ: تُسَمُّونَهُمْ مُحَمَّدًا ثُمَّ تَلْعَنُونَهُمْ؟
Sebagaimana disebutkan dalam hadits tadi: “Kalian menamai mereka Muhammad lalu kalian mencela mereka?”). Sebab pelarangan Umarوَسَبَبُ نَهْيِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لِمُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ: فَعَلَ اللَّهُ بِكَ وَفَعَلَ، يَا مُحَمَّدُ!
karena beliau mendengar seseorang berkata (dengan nada marah/mencela) kepada Muhammad bin Zaid bin Khattab (keponakan Umar): “Semoga Allah melakukan ini dan itu padamu, wahai Muhammad!”).فَدَعَاهُ عُمَرُ فَقَالَ: أَرَىٰ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يُسَبُّ بِكَ؟ وَاللَّهِ لَا تُدْعَىٰ مُحَمَّدًا مَا بَقِيتُ. وَسَمَّاهُ عَبْدَ الرَّحْمَـٰنِ.
Lalu Umar memanggil orang yang bernama Muhammad bin Zaid itu dan berkata: “Apakah aku melihat Rasulullah ﷺ dicela melalui dirimu? Demi Allah, engkau tidak akan dipanggil Muhammad selama aku masih hidup.” Lalu Umar mengganti namanya menjadi Abdurrahman).
Kesimpulannya, Memberi nama Muhammad itu diperbolehkan. Adapun menggunakan kunyah Abu al-Qasim juga diperbolehkan (kemungkinan karena hukumnya telah mansukh atau karena illat/sebab larangannya, yaitu agar tidak sama dengan Nabi ﷺ saat beliau masih hidup, sudah hilang setelah beliau wafat). Pembahasan lebih lanjut mengenai alasan Nabi ﷺ dinamakan Abu al-Qasim (karena putranya bernama Qasim) dan mengapa ada yang melarang nama Qasim akan dijelaskan pada pertemuan berikutnya. Nama Abdullah dan Abdurrahman tetap merupakan nama yang paling baik.