Tabligh Akbar : Karakteristik Ayah yang Dirindukan
Karakteristik Ayah yang Dirindukan
اللَّهُمَّ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللَّهُمَّ انْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَعَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَزِدْنَا عِلْمًا
Kaum muslimin dan muslimat rahimani warahimakumullah. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang senantiasa menganugerahkan nikmat dan karunia. Pagi ini kita kembali dihidupkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kematian kita di dalam tidur, yang disunahkan bagi kita untuk membaca:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا
Baik. Setiap saat kita diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memuji dan memuji Allah, sebagai tanda syukur kita kepada Allah karena kehidupan kita tidak akan pernah sedikit pun lepas dari karunia-Nya. Selawat dan salam semoga dianugerahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
Ayah yang dirindukan, tentu yang dirindukan oleh anak-anaknya. Pada pagi ini kita akan mencoba mengumpulkan karakteristik seorang ayah yang baik, yang dirindukan oleh anak-anaknya. Hal ini sangat penting sekali melihat kedudukan seorang ayah di dalam rumah tangga. Dia adalah pemimpin, dia adalah pengayom, dia adalah pelindung, dia adalah pengarah. Di mana peran ayah dalam mendidik anaknya, di dalam mengarahkan anak? Anak-anak yang tidak terurus dan tidak terdidik, salah satu di antara faktornya adalah hilangnya peran ayah di dalam rumah tangga.
Ada beberapa poin dari karakteristik seorang ayah yang baik menurut Islam berdasarkan dari Al-Qur’an dan sunah serta perkataan para salaf.
1. Penanggung Jawab (Mas’uliyyah)
Yang pertama, bahwa ayah adalah penanggung jawab. Dia adalah penanggung jawab pertama dalam mendidik anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah At-Tahrim ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa kewajiban dari orang-orang beriman, yaitu kaum laki-laki, adalah untuk menjaga keluarganya dan nabi (diri sendiri). Namun perlu dia ketahui bahwa dia tidak akan bisa menjaga keluarganya dari api neraka kecuali setelah dia menjaga dirinya sendiri dari api neraka. Maka oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan yang pertama adalah قُوا أَنْفُسَكُمْ (jagalah dirimu) dari api neraka, setelah itu baru keluarga. Si ayah tidak akan bisa menyuruh anaknya salat kalau seandainya ayah tidak salat. Begitu seterusnya.
Karena sebagai seorang pemimpin, dialah yang bertanggung jawab. Dia adalah kedudukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian itu adalah ra’in (pemimpin/penggembala).”
Apa itu ra’in? Kalau kita lihat kepada letterlijk (secara harfiah) dari bahasa penggembala; bagaimana penggembala? Orang menggembala sekian banyak dari kambing, hewan 100, 200, apa tugasnya? Tupoksinya apa? Adalah bertanggung jawab, punya amanah untuk bagaimana kambing-kambing yang dia pelihara ini gemuk-gemuk semua dan tidak boleh berkurang. Maka ada yang menerjemahkan kullukum ra’in setiap kalian itu pemimpin. Tapi yang paling tepat itu adalah setiap kalian itu adalah bertanggung jawab, punya tugas, punya amanah yang diembankan kepadanya.
Karena amanah ini diberikan, maka akan diminta pertanggungjawaban terhadap yang diamanatkan. وَالْإِمَامُ رَاعٍ (Dan Imam itu penanggung jawab), diberikan amanah untuk apa? Terhadap rakyatnya. وَهُوَ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (Maka dia akan diminta pertanggungjawaban terhadap yang diamanatkan).
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Laki-laki itu adalah penanggung jawab yang diberikan amanah di rumah keluarganya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban terhadap yang diamanatkan.”
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan wanita adalah diberikan amanah di rumah suaminya, dan dia diminta pertanggungjawaban dari yang diamanatkan kepadanya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Hasan Al-Bashri menuturkan (dalam makna hadis Nabi):
مَنْ عَالَ ثَلَاثَ بَنَاتٍ أَوْ ثَلَاثَ أَخَوَاتٍ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Siapa yang memelihara tiga orang anak perempuan atau tiga orang saudari, maka dia berhak mendapatkan surga.”
Dan ini makna yang sama, ada riwayat-riwayat dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki terutama dengan para keluarga memiliki tanggung jawab. Tanggung jawabnya yang sangat luas; pemeliharaan, pendidikan.
Maka kita lihat sebagai contoh bagaimana seorang ayah mendidik anak di dalam Al-Qur’an. Luqman Al-Hakim, ingatlah ketika memberikan nasihat kepada anaknya:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.”
Begitu juga Nabi Ya’qub yang dia menasihati anak-anaknya, yang dia berkata kepada anaknya:
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي
“Apa yang kalian ibadahi sepeninggalku?”
Penanaman tauhid adalah yang sangat penting yang diperhatikan dan ini tanggung jawab. Bagaimana dengan kita, anak kita? Sudahkah kita nasihati semenjak dini untuk mengingatkan kepada mereka dan menanamkan tauhid kepada mereka?
Ali bin Abi Thalib mengatakan tafsiran dari يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ (Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka), beliau berkata:
عَلِّمُوهُمْ وَأَدِّبُوهُمْ
“Ajarkan mereka, didik mereka.”
Dengan cara mengajarkan. Mengajarkan berarti memberikan pengetahuan, dan mendidik, memberikan perhatian, pemeliharaan, memberikan tarbiah, adalah tanggung jawab seorang bapak, seorang ayah yang dia adalah pelakunya.
2. Kasih Sayang dan Perhatian
Yang kedua adalah kasih sayang dan perhatian. Ayah yang dirindukan adalah ayah yang memiliki kasih sayang, yang memberikan dan memiliki perhatian kepada anak-anaknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Barang siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayang.”
Maka merupakan sebuah fitrah yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tanamkan kepada seorang bapak memiliki kasih sayang, itu sudah fitrah. Namun, sudahkah kita memiliki fitrah ini, kita jaga dengan baik dan kita berikan lebih kepada anak kita?
Dalam hadis yang lain, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan bin Ali (cucunya), lalu Al-Aqra’ bin Habis dia berkata:
إِنَّ لِي عَشْرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا
Kata Al-Aqra’ bin Habis: “Sesungguhnya aku memiliki 10 anak dan tak seorang pun di antara mereka yang aku cium.”
Mungkin bagi mereka keperkasaan, ketegasan, keseriusan itu adalah merupakan karakter seorang laki-laki. Dia lihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam cium cucunya, berbeda dengan dirinya yang dia memiliki anak yang tidak pernah dicium. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ (Orang yang tidak menyayangi, dia juga tidak akan disayang).
Maka mari kita tumbuhkan rasa kasih sayang. Aku melahirkan rasa pengayoman, tidak hanya dalam masalah fisiknya, tapi dalam masalah akidahnya, masalah agamanya, dan pendidikannya. Keikutsertaan orang tua di dalam pendidikan anak, terutama adalah ayah menanyakan bagaimana sekolah anaknya dan ikut memurajaah anaknya, ini akan memberikan pengaruh psikologi yang kuat kepada anak. Mungkin di antara kita ada seorang ayah merasa bahwasanya tugas utamanya adalah mencari nafkah, lalu dia tidak ikut serta di dalam memberikan perhatian di dalam pendidikan.
3. Rasa Keadilan
Yang ketiga, rasa keadilan. Haruslah adil, itu adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, memberikan masing-masing sesuai dengan porsinya. Adil lawannya adalah zalim.
الظُّلْمُ وَضْعُ الشَّيْءِ فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ
“Zalim itu adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan.”
Kita bersikap adil adalah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim:
اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Takutlah kalian kepada Allah dan bersikap adillah kalian dengan anak-anak kalian.”
Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu:
أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ؟ قَالَ: لَا، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَأَرْجِعْهُ
Nu’man bin Basyir dia mengatakan bapaknya membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sesungguhnya aku memberikan pemberian (budak/hadiah) kepada anakku ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanya, “Apakah masing-masing anakmu engkau berikan seperti ini?” Dia menjawab tidak. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kembalikan.”
Dalam riwayat yang lain katakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas ketidakadilan.”
Terkadang kita sebagai orang tua memberi sebagian dari anak dan tidak memberi yang lain. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggambarkan bagaimana seorang orang tua, ayah, dia juga mendapatkan pengin mendapatkan perhatian dari anak-anak, kasih sayang dari anak-anak. Maka kita juga memberikan kasih sayang kepada anak-anak kita yang sama. Bersikap adil ini terkadang memang berat, tapi ini adalah merupakan bagian dari sebuah tuntutan karena ini ada perintah, dan Nabi tidak menyetujui adanya orang tua yang tidak adil di dalam pemberian.
Sebab sampai batas mana keadilan itu? Saya melihat ada seorang ustaz yang masyaallah luar biasa. Sikap adilnya itu, anaknya banyak, dia berupaya betul-betul adil. Dia catat ya, dia punya komputer, dia buat data semacam bentuk rekening akun. Terlepas dari kewajiban bernafkah, (itu) berbeda. Nafkah sesuai dengan kebutuhan. Anak yang baligh berbeda dengan kebutuhan anak yang mungkin prasekolah. Mana yang paling besar biayanya? Banyak cost-nya, berapa kebutuhan. Tapi anak yang mungkin 3 tahun, 4 tahun biaya belum banyak. Berbeda dengan anak yang mungkin kuliah, berbeda dengan anak yang mungkin di SD, SMP, dan seterusnya. Ini adalah nafkah kita sesuaikan.
Tapi ada di luar dari nafkah, adalah pemberian. Mungkin hadiah atau yang lain yang di luar dari nafkah. Ustaz ini ketika salah seorang dari anaknya pengin beli sesuatu yang itu di luar dari nafkah, taruhlah misalkan 100.000 nilainya dia belanja, dia kasih. Akan tetapi setiap anaknya yang lain itu dikasih (dicatat) masukkan angka 100.000, 100.000, 100.000, 100.000. Kalau 10 anaknya berapa dia? Tapi itu adalah bagian sikap dia untuk menjaga keadilan antara anaknya. Ya, dia juga memiliki lebih dari seorang istri, dia ambil sikap seperti itu juga. Dia berupaya bagaimana dia adil, berbeda dengan nafkah tadi. Ini adalah salah satu contoh ya. Ada orang yang betul-betul menjaga sikap keadilannya kepada anaknya dalam pemberian.
4. Kedisiplinan
Yang keempat, disiplin. Salah satu bentuk kedisiplinan yang kita tanamkan kepada anak kita adalah menyuruh mereka untuk salat, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tentukan waktu-waktu untuk mengerjakan salat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berumur 7 tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkan salat ketika mereka berumur 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Mereka umur berapa? Umur 10 tahun. Ini hadis ini luar biasa. Hadis yang pertama kita memberikan perintah kepada anak kita itu bertahap dan harus kita sesuaikan dengan umurnya. Kapan baru kita perintahkan mereka untuk salat? Adalah ketika anak kita berumur 7 tahun. Kenapa 7 tahun? Karena umur 7 tahun itu adalah umur mumayyiz atau tamyiz. Dia sudah bisa dan sudah mulai membedakan antara satu dengan yang lainnya.
“Oh, anak saya umur 3 tahun gak tahu mana sapi betina dengan mana sapi jantan.” Yang dimaksud dengan mumayyiz itu adalah fahmul khitab, paham akan pembicaraan kita. Maksudnya apa? Ngerti dia mana yang salat, mana yang tidak salat. Ya, anak mungkin umur 4 tahun, 5 tahun dia salat “Allahu Akbar”, setelah itu ngobrol dia pergi main, masuk lagi. Berarti belum paham dia apa itu salat. Maka pada umumnya anak yang sudah mulai dia paham adalah umur 7 tahun. Maka salat anak yang umur 7 tahun ini walaupun belum wajib baginya, maka salatnya sudah sah. Jika dia sudah memenuhi syarat-syarat wajib salat, maka boleh dia berada di antara saf dewasa dan tidak memutuskan (saf).
Maka anak yang sudah paham ini, itulah yang akan kita ajak untuk datang ke masjid sehingga dia tahu. Bukan anak yang umur 4 tahun ya atau umur 3 tahun yang kita ajak, boleh? Boleh silakan. Tapi bisa enggak kita mengendalikan? Kalau seandainya rumahnya sempit, dia lihat masjid tengah lapang, ya senang dia. “Oh, anak saya senang sekali datang ke masjid.” Iya, karena dia lihat masjid jauh lebih luas daripada rumahnya. Bisa berlari-lari, bisa bermain, bergelut dengan yang lain. Ah, ini akan berdampak kepada mengganggu kekhusyukan salat. Tapi kalau anaknya “Anak saya 4 tahun atau 3 tahun tapi dia adem, diam aja, mudah diatur, tidak banyak bicara,” (itu boleh).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membawa Hasan dan Husain yang mereka masih kecil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sujud, Hasan Husain saling duduk di atas punggungnya, sehingga Nabi tidak mau mengusik kesenangan anak cucunya. Pada saat itu dia sujud lama sekali, sehingga ada sahabat lihat, “Ada apa dengan Rasulullah?” Dia angkat kepalanya, dia lihat ada Hasan Husain.
Maka umur 7 tahun ini baru kita perintahkan anak kita salat. Sebelum itu boleh diajak? Boleh silakan. Tapi baru diperintahkan dan umur 10 tahun boleh dipukul. Lalu bagaimana praktiknya? Umur 7 tahun ni, anak saya umur 7 tahun nak salat itu diam. Umur 10 tahun nak 10 tahun anak buang gak salat pukul? (Tidak langsung begitu). Setiap waktu lima waktu, dari umur 7 tahun itu diajak anak kita, diperintahkan anak kita untuk salat. Waktu zuhur suruh dia salat, waktu datang asar suruh dia untuk mengerjakan salat, begitu seterusnya setiap hari selama 3 tahun. Akankah umur 10 tahun dia akan melalaikan salatnya? Ditambah lagi dibawa oleh orang tuanya, oleh ayahnya ke masjid, dibiasakan. Akankah anak itu akan lalai? Kalau setiap hari lima kali ayahnya memerintahkan untuk salat, itu tidak akan lalai.
Kalau masih lalai, maka pantas dia untuk dipukul. Tapi tahapnya ketika dia sudah berumur 10 tahun. Kalau belum 10 tahun kita pukul anak kita tidak mengerjakan salat, kita yang zalim. Salah di dalam mendidik, belum waktunya. Karena salat merupakan tiang agama yang sangat penting perannya di dalam rukun Islam. Maka semenjak dini ditanamkan kepada mereka, dibiasakan kepada mereka.
Anak baligh umur berapa? Rata-rata umur 13, 14. Berarti 6 atau 7 tahun sebelum dia baligh sudah dibiasakan. Akankah ketika dia baligh dia akan malas-malas untuk mengerjakan salat? Tentu tidak. Kalau ada orang tua yang mengeluh, “Nak Ustaz, anak saya umur 18 tahun malas sekali salat, bagaimana cara-caranya menyuruhnya salat?” Pak, ada salah konsep. Ya, salah konsep di dalam mendidik. Kita dari awal sudah lalai di dalam mendidik anak kita, tidak disiplin. Maka kedisiplinan itu berawal dari semenjak dini. Penanaman karakter adalah sejak kecil. Membentuk batang ya, batang pohon kalau kita mau membentuknya adalah ketika dia masih lunak, sebelum dia menjadi kayu. Kalau sudah menjadi kayu, enggak bisa kita akan membentuknya, susah. Begitu juga anak. Jadi penanaman karakter bukan di kelas, bukan di tingkat SMP atau SMA, tapi bentuk karakter itu mulai dari dini, semenjak kecil. Maka benar kata ulama, anak akan tumbuh besar sesuai dengan kebiasaan yang dibiasakan oleh ayahnya. Maka kebiasaan anak itu adalah kebiasaan ayah.
Kemudian umur 10 tahun dipisah tidurnya karena sudah mulai mengenal. Di sinilah kalau dinamakan sekarang ini pendidikan seksual dini untuk anak ya. Di situ sudah mulai karena anak sudah mulai melihat adanya hal-hal yang lain. Bedakan atau pisahkan tempat tidur mereka.
Umar bin Khattab dia mengatakan:
أَدِّبُوا أَوْلَادَكُمْ فَإِنَّهُمْ خُلِقُوا لِزَمَانٍ غَيْرِ زَمَانِكُمْ
“Didiklah anak-anakmu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk sebuah zaman yang berbeda dengan zaman kalian.”
Ayo, bagaimana orang tua kita mendidik kita dulu? Kalau kita terapkan apa yang diterapkan oleh orang tua kita dulu dengan anak kita sekarang, hancur. Apa cak awaknya? Orang tua kita mungkin dulu keras, anak sekarang enggak bisa karena memang itu adalah zamannya. Ya dengan bermacam-macam orang mengistilahkan zaman; zaman apa? Zaman Gen Z lah, zaman stroberi, apa generasi stroberi, generasi Zen lah, generasi apalah. Berbeda dengan zaman kita dulu, penuh tantangan. Kita hidup di kampung dulu penuh tantangan main. Kita main bermacam-macam. Ada tahu dengan kalau kami di kampung dulu ya bermain namanya “seribu benteng” (benteng-bentengan). Hah. Bergulat kita dulu dengan kawan itu biasa, kini awak mencari anaknya bergulat rasanya, eh macam awak macam rasu bercakap (marah). Biasalah anak dahulu bertengkar, bercakar biasa, tapi sekarang kita sudah sayang sehingga anak kita itu mentalnya juga sudah berubah karena pemahaman kita juga sudah mulai berbeda.
Maka benar kata Umar ya, didik mereka karena mereka diciptakan untuk sebuah zaman yang bukan sama dengan zaman kita. Maka oleh karena itu didik kedisiplinan.
5. Teladan yang Baik
Kemudian yang kelima adalah teladan yang baik. Bahwa ayah adalah teladan baginya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan gambaran bagaimana pentingnya teladan. Di mana teladan kita adalah Rasulullah, suatu teladan yang baik memiliki karakter-karakter yang tentu yang baik.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya engkau berada dalam akhlak yang agung/baik.”
Dan akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an. Maka kita sebagai orang tua adalah contoh yang akan menjadi sosok yang pertama yang akan dicontoh oleh anak kita. Dan anak kita tipenya adalah mencontoh, meniru apa yang dilakukan oleh Bapak. Lihat anak-anak masih kecil, kadang baju awak dipakai, sandal awak dipakai. Nah, kayak kita duduk, kayak apa dia duduk, kayak gitu juga. Maka anak kita itu membeo (meniru). Memang kalau kita lihat fase dari pertumbuhan anak itu, ada sebuah buku yang masyaallah luar biasa juga ya dalam pendidikan, yaitu fase-fase pertumbuhan sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah.
Ada fase mulai dari misalnya lahir, fase bayi mulai dari umur 0 sampai umur 2 tahun. Bagaimana karakter anak umur 2 tahun? 1 hari sampai 6 tahun itu adalah masa di mana anak mulai belajar berbahasa. Mulai dari dua kata terakhir atau dua huruf terakhir. Kemudian dijalin dengan beberapa suku kata. Kemudian mulai dengan kata, maka anak pada saat itu suka dia mengulang-ulangi kosakata. Terkadang ketika kita mau nyuruh dia, dia mengatakan apa? Berulang-ulang lagi. “Ah apa, apa ini?” Bukan dia tidak dengar, tapi saatnya dia ingin menghafal dan masuk dalam memorinya. Maka oleh karena itu hendaklah kata-kata yang ada pada di rumah tangga itu adalah kata-kata yang baik. Jangan kata-kata ya carut marut, kata kasar. Kalau itu yang terjadi, itulah yang akan terekam oleh memorinya.
Ali bin Abi Thalib dia mengatakan itu mirip dengan perkataan Umar bin Khattab: “Janganlah kalian paksa anak-anak kalian dengan adab-adab kalian. Sesungguhnya mereka tercipta untuk zaman bukan zaman kalian.”
Akan tetapi ajarlah mereka dengan qudwah (keteladanan), suri tauladan قَبْلَ الْمَقَالِ (sebelum ucapan). Jadi mendidik dengan ahwal, dengan keadaan kita itu akan lebih jauh lebih baik. Makanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh kita untuk salat sunat itu di rumah, salat wajib di masjid, salat sunat di rumah. Itu juga di antara kalau kita bawa kepada pendidikan, adalah mendidik anak dengan keadaan. Kalau semua salat ada kita laksanakan di masjid, anak kita (tidak) melihat bagaimana salat kita.
6. Komunikasi yang Efektif
Yang keenam, komunikasi yang efektif. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 83:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Ucapkanlah kepada manusia perkataan yang baik.”
Maka didik anak kita dengan komunikasi yang baik ketika mereka masih kecil. Tadi sudah kita bahas juga, anak itu akan meniru orang tuanya dalam perkataannya, keseharian. Maka kalau kita pengin melihat bagaimana bahasa di situ rumah tangga, lihat bahasa anak. Karena dia terdidik dengan bahasa yang ada dalam keluarganya. Bagaimana bapaknya berbicara dengan ibunya? Bagaimana ibunya berkata dengan bapaknya? Bagaimana komunikasi satu sama lainnya dalam rumah tangga? Itu adalah membentuk anak.
Imam Syafi’i dia mengatakan:
مَنْ أَدَّبَ وَلَدَهُ صَغِيرًا قَرَّتْ بِهِ عَيْنُهُ كَبِيرًا
“Siapa mendidik anaknya sejak kecil, sejak dini dan dididik dengan baik, maka dia akan bahagia dengan anaknya ketika besar (sejuk matanya).”
Maka ini juga peran didikan atau berbakti kepada anak ketika mereka masih kecil.
7. Fleksibilitas
Kemudian yang ketujuh adalah fleksibilitas. Fleksibilitas, yakni fleksibel. Orang tua juga memiliki sikap fleksibel, bisa ya, tidak kaku ya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Di dalam kita menjalankan ketaatan kepada Allah, Allah juga mengatakan:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampunya, semaksimalnya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang aku perintahkan kepada kalian lakukanlah sebagiannya dari apa yang mampu kamu lakukan. Apa yang aku larang (tinggalkan).”
Dengar juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah dan tidaklah seorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (akan nyerah).”
فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
“Maka berlakulah secara lurus (tepat sasaran), moderatlah (mendekatlah kepada yang benar).”
Usahakan kita melaksanakan yang benar. Kalau tidak, ya mendekatlah kepada yang benar. Ibnu Abbas (atau Ali bin Abi Thalib) mengatakan:
لَاعِبْهُ سَبْعًا، وَأَدِّبْهُ سَبْعًا، وَصَاحِبْهُ سَبْعًا
“Bermainlah dengan anakmu selama 7 tahun. Dan didiklah dia selama 7 tahun dan jadilah sahabat baginya selama 7 tahun.”
7 + 7 + 7 = 21. Kalau kita lihat, sebelum dia masuk SD, kita bermain dengan anak mulai dari dini ya, umur 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, masih bermain kita dengan (anak). “Ayo gimana kita bermain,” enggak dengan anak kita waktu SD? 7 tahun berikutnya didik. Kemudian berarti umur 14 tahun sudah mulai baligh, pencar terjadi perubahan pada dirinya. Maka umur-umur akhir baligh itu adalah umur yang paling apa ya? Paling sekali, paling dibutuhkan perhatian dari orang tua untuk anak, paling lapit (labil) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Maka pada saat itu dibutuhkan apa? Sikap ayah yang bersahabat dengan anaknya. Karena saya membaca sebuah tulisan, penyimpangan seksual yang terjadi pada anak perempuan, (tindakan) kenakalan itu, pacaran dan yang lain, itu disebabkan karena komunikasinya dengan ayahnya terputus. Sering dikatakan bahwa orang yang cinta pertama anak perempuannya adalah ayah. Tapi ketika cinta pertama ini tersumbat, ya, maka dia cari tempat yang lain. Dia pengin curhat kepada ayahnya, tapi ayahnya tidak memberikan perhatian, maka dia curahan kepada yang lain.
Maka umur SMP, SMA anak kita itu sudah harus kita jadikan sebagai sahabat. Bapak, Ibu, tidakkah kita pengin anak kita itu betul-betul kita ini dijadikan sebagai tempat curhatnya? Kita kadang-kadang ingin melihat anak kita diam dengan kita, tapi dengan orang lain bergembira, bercerita. Betul gak? Nah, ini ada apa nih? Dengan kita sendiri gak bisa dia bercerita tapi dengan orang lain dia enak bercerita. Tidak kita pengin anak kita itu ceritanya adalah (ke) kita? Kita perbaiki konsep kita ini. Mungkin mau dia bercerita “Ah cari toilet ya ayah anu…” hah, anak mau belum bercerita kita sudah potong dulu. Ini perlu kita perbaiki.
Maka umur 21, kalau seperti tadi yang kita didik waktu kecilnya menjadi kita bermain dengannya, waktu dia SD kita didik, kita bimbing, ini waktu di SMP dan SMA mau masuk juga perguruan tinggi menjadi temannya, sahabat. Maka umur anak kita 21 masyaallah ya, terdidik sesuai dengan zamannya juga dengan fase.
8. Mendorong Kemandirian
Yang kedelapan adalah mendorong kemandirian. Mendorong kemandirian menunjukkan bahwa seseorang itu bertanggung jawab dengan amalannya masing-masing. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam Surah An-Najm ayat 39:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakan.”
Maka kemandirian, tanggung jawab, dan kemandirian anak harus kita tanamkan. Sebagaimana juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanamkan juga kemandirian. Di antaranya apa kata Nabi?
“Sesungguhnya,” kata Nabi, “jika salah seorang di antara kalian mengambil tali lalu dia pergi ke gunung untuk mengumpulkan kayu bakar lalu dia pikul, setelah itu dia jual, kemudian hasil dari jual dia makan, dia bersedekah, lebih baik daripada dia minta-minta kepada manusia.”
Ini menunjukkan kemandirian ya. Tidak menyandarkan dirinya kepada orang lain dengan hanya minta-minta. “Ah gampanglah nanti aku kawan bisa,” maki gitu. Habisnya kau minta kepada yang lain.
Minta di dalam mendidik kemandirian, bagiannya adalah apa yang diajarkan oleh Nabi adalah seperti olahraga ya. Juga Umar bin Khattab dia mengatakan:
عَلِّمُوا أَوْلَادَكُمُ السِّبَاحَةَ وَالرِّمَايَةَ وَرُكُوبَ الْخَيْلِ
“Ajarkan kepada anakmu berenang, memanah, dan naik kuda.”
Itu adalah membentuk kemandirian, pribadi kemandirian, ketangkasan.
9. Perhatian Terhadap Waktu
Kemudian perhatian. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
Ini menunjukkan akan pentingnya waktu juga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ
“Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima yang lain.”
Ini juga menunjukkan pentingnya waktu. Hasan Al-Bashri dia mengatakan:
يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai anak manusia, wahai anak Adam, sesungguhnya engkau itu adalah kumpulan dari hari-hari. Apabila satu hari berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.”
10. Menerima Kegagalan dan Bersabar
Dan yang terakhir adalah sikap seorang ayah, dia harus juga menerima sebuah kegagalan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam Surah Al-Insyirah:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
Bentuk dari menerima kegagalan adalah kesabaran. Menerima apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan. Bukan berserah (menyerah), tidak, tapi menerima. Ali bin Abi Thalib dia mengatakan:
مَنْ لَمْ يَصْبِرْ عَلَى ذُلِّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً بَقِيَ فِي ذُلِّ الْجَهْلِ أَبَدًا
“Siapa yang tidak bersabar di dalam mendidik anaknya (atau belajar), berarti dia bersabar di dalam kehinaan.”
Hanya ada orang yang ahis (habis) sama sabar, siap untuk menerima kehinaan. Karena mendidik anak butuh kesabaran dan sabar itu tidak ada batasnya. Terus aja kita didikan. Maksud dengan menerima kegagalan, mungkin dalam kita mendidik belum tercapai, ya sudah bersahabat, kita didik terus. Hidayah itu tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan kita pernah putus asa. Dan kalau seandainya anak kita, alhamdulillah kita apa sudah mengikuti kajian tapi kita mengaji setelah kita anak-anak kita sudah dewasa. Mungkin kita ajak anak kita untuk ngaji tidak seperti kita, malas-malas datang ya. Maka selalu kita bersabar di dalam menghadapi kondisi. Kita ajak terus, kita ajak terus dan tidak pernah berputus asa.
Menerima kegagalan bukan berarti kita berserah, tetapi menerima kegagalan kita bersabar dan selalu berusaha. Tidak mustahil. Kita lihat Nabi Nuh dan Nabi Luth ya, istrinya tidak mengikuti langkahnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak pamannya sampai di akhir hayat pamannya untuk bisa mengatakan Lailahaillallah, tapi juga tidak mengatakan. Ini menunjukkan kepada kita bahwa kita perlu bersabar. Kita perlu bersabar.
Keadaan anak kita mungkin di antara bentuk penerima keadaan itu adalah anak kita. “Oh, kenapa anak kita, anak kita ini apa, melihat anak orang berhasil anak kita tidak?” Kalau kita banding-bandingkan, terkadang kita tidak mau menerima keadaan. Apa yang muncul? Muncul adalah perubahan sikap kita kepada Allah, selalu kita membanding-bandingkan. Ada di antara anak enggak suka perbandingan. Oleh karena itu sesuaikan. “Oh iya mungkin anak kita begini.” Kita berusaha selalu kita terima apa yang ada. Kita berusaha untuk mendidik anak itu kadang-kadang terjadi perubahan, itu ada saat ada pada umur SMP dia berubah, ada di umur SMA, ada yang sudah kuliah, ada yang sudah kuliah baru dia berubah. Tetapi jangan kita tinggalkan.
Wallahu Ta’ala a’lam. Mudah-mudahan apa yang kita sampaikan ya, saya berusaha untuk mencari apa porsinya poin-poin ini, mudah-mudahan bisa memberikan apa namanya, informasi yang menjadi bahan untuk kita yang kita tingkatkan untuk menjadi seorang ayah yang dirindukan. Sudah yang sudah pasti itu adalah kita sebagai orang tua adalah punya tanggung jawab utama dalam mendidik yang akan kita (lakukan) di dalam menjaga keluarga kita dari api neraka. Wallahu Ta’ala a’lam.
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ
Kita cukupkan sampai di sini, usah (tidak usah) ada pertanyaan ya. Semoga bermanfaat kita tutup dengan kafaratul majlis.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
