Syarah Shahih Muslim: Bab – Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling baik akhlaknya
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.
اللَّهُمَّ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَانْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَزِدْنَا عِلْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا. اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا. يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ وَلَا تَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ.
Kaum muslimin dan muslimat رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللهُ. Kembali kita melanjutkan kajian kita dalam hadits-hadits صَحِيحُ مُسْلِمٍ (Sahih Muslim) dengan syarah Imam Nawawi. بَابٌ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا (Bab: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya).
Dalam hadits bab ini kita akan mempelajari tentang seperti apa akhlaknya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَبُو الرَّبِيعِ قَالَا: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَدَمْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ عَشْرَ سِنِينَ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي: أُفًّا قَطُّ، وَلَا لِشَيْءٍ: لِمَ فَعَلْتَ كَذَا؟ وَهَلَّا فَعَلْتَ كَذَا؟
(Diriwayatkan) dengan sanadnya kepada Anas bin Malik رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, dia mengatakan: “Aku melayani Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengatakan kepadaku أُفًّا قَطُّ (perkataan ‘uf’ atau ‘cis’ atau ‘ah’ sama sekali). Dan beliau juga tidak pernah mengatakan kepadaku, ‘Kenapa kamu mengerjakan itu?’ atau ‘Kenapa kamu tidak mengerjakan ini?'”
Ungkapan مَا قَالَ لِي أُفًّا قَطُّ; ini adalah kalimat yang dipakai untuk setiap yang tidak disukai atau yang dianggap keji. وَهِيَ اسْمُ فِعْلٍ تُسْتَعْمَلُ فِي الْوَاحِدِ وَالِاثْنَيْنِ وَالْجَمْعِ وَالْمُؤَنَّثِ وَالْمُذَكَّرِ بِلَفْظٍ وَاحِدٍ (Dia adalah isim fi’il yang dipakai baik untuk satu orang, dua, banyak, jenis perempuan, atau laki-laki dengan lafaz yang sama). Allah berfirman dalam surah Al-Isra ayat 23: فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ (“Maka janganlah katakan kepada kedua orang tua itu ‘uf'”).
قَالَ الْهَرَوِيُّ: يُقَالُ لِكُلِّ مَا يُتَضَجَّرُ مِنْهُ وَيُسْتَثْقَلُ: أُفٍّ (Al-Harawi mengatakan: Kalimat ‘uf’ ini diungkapkan untuk setiap yang dirasakan berat atau berat hati). Ada lagi yang mengatakan maknanya وَقِيلَ مَعْنَاهُ الِاحْتِقَارُ (dan dikatakan maknanya adalah dianggap remeh). مَأْخُوذٌ مِنَ الْأَفَفِ وَهُوَ الْقَلِيلُ (Diambil dari kata ‘al-afaf’ yaitu sedikit/remeh). Yang intinya adalah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah mengatakan ungkapan itu, “ah” atau “cis”, kepada Anas bin Malik selama 10 tahun.
زَادَ أَبُو الرَّبِيعِ: لَيْسَ مِمَّا يَصْنَعُهُ الْخَادِمُ (Abu Rabi’ menambahkan: “Terhadap apa yang tidak diperbuat oleh seorang pembantu”). Yakni sesuatu perbuatan yang tidak pantas dibuat oleh pembantu. Beliau tidak pernah mengatakan ungkapan-ungkapan di atas, ungkapan “uf”, menganggap itu perkataan yang remehlah, perkataan yang keji, atau yang lain. Kalau ungkapan yang seperti itu saja tidak keluar dari mulut Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan juga tidak pernah mengatakan kepada Anas ketika dia melakukan sesuatu “Kenapa engkau melakukan ini?” atau “Kenapa kamu tidak melakukan?”
Hadits yang kedua:
وَحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الْمَدِينَةَ أَخَذَ أَبُو طَلْحَةَ بِيَدِي فَانْطَلَقَ بِي إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَنَسًا غُلَامٌ كَيِّسٌ فَلْيَخْدُمْكَ. قَالَ: فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلَا لِشَيْءٍ لَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟
Dengan sanadnya kepada Anas bin Malik, dia mengatakan: “Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang ke kota Madinah—di awal datang dahulunya—Abu Thalhah (bapak tirinya) memegang tangannya (yakni memegang tanganku), lalu dia berangkat membawaku kepada Rasulullah. Lalu Abu Thalhah mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anas ini غُلَامٌ كَيِّسٌ (anak yang cerdas), maka biarkan dia melayanimu.'”
Anas mengatakan: “Lantas aku melayani Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ baik di dalam safar beliau maupun di dalam hadhar (tidak safar/mukim di Madinah). Demi Allah, beliau tidak pernah mengatakan kepadaku untuk sesuatu yang telah aku lakukan: ‘Kenapa engkau melakukan ini seperti ini?’ Tidak juga beliau mengatakan sesuatu yang aku belum buat: ‘Kenapa engkau tidak melakukan ini dengan begini?'”
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا، قَالَ: حَدَّثَنِي سَعِيدٌ وَهُوَ ابْنُ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: خَدَمْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ تِسْعَ سِنِينَ، فَمَا أَعْلَمُهُ قَالَ لِي قَطُّ: لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا؟ وَلَا عَابَ عَلَيَّ شَيْئًا قَطُّ
Dengan sanad kepada Anas bin Malik, dia mengatakan: “Aku melayani Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sembilan tahun. Aku tidak pernah mengetahui sama sekali bahwa beliau mengatakan kepadaku, ‘Kenapa kamu mengerjakan ini dan itu?’ Beliau juga tidak pernah mencaci sesuatu dariku sama sekali.” Jadi apa yang dilakukan oleh anak-anak (Anas) enggak pernah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ caci maki.
حَدَّثَنِي أَبُو مَعْنٍ الرَّقَاشِيُّ زَيْدُ بْنُ يَزِيدَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ وَهُوَ ابْنُ عَمَّارٍ، قَالَ: قَالَ إِسْحَاقُ، قَالَ أَنَسٌ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا، فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ، فَقُلْتُ: وَاللهِ لَا أَذْهَبُ، وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللهِ ﷺ، فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرَّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي السُّوقِ، فَإِذَا رَسُولُ اللهِ ﷺ قَدْ قَبَضَ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي، قَالَ: فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ، فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ، أَذَهَبْتَ حَيْثُ أَمَرْتُكَ؟ قَالَ قُلْتُ: نَعَمْ، أَنَا أَذْهَبُ يَا رَسُولَ اللهِ
Dengan sanadnya kepada Anas bin Malik, dia mengatakan: “Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ termasuk manusia yang terbaik akhlaknya. Pada suatu hari beliau mengirimku untuk sebuah kebutuhan. Lalu aku mengatakan: ‘Demi Allah aku tidak berangkat.’ Akan tetapi di dalam hatiku mengatakan, ‘Aku pergi kepada apa yang (atau setiap apa yang) diperintahkan kepadaku oleh Nabiullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.’ Lantas aku keluar sehingga melewati beberapa anak-anak yang sedang bermain di pasar (sementara Anas ini masih anak-anak). Ternyata Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah memegang tengkukku di belakang—sedang nonton anak-anak main langsung dipegang oleh Rasulullah dari belakang.”
Anas berkata: “Lalu aku melihat ke beliau, beliau sedang ketawa (jadi bukan muka marah ya, tapi Nabi dia ketawa). Beliau berkata: يَا أُنَيْسُ (Wahai Unais—ini panggilan kecil/tashghir untuk Anas), apakah engkau telah pergi sesuai dengan yang aku perintahkan kepadamu?’ Lalu aku mengatakan: ‘Ya, sekarang saya berangkat, Wahai Rasulullah.'” (Ah, gitu ya. Ya, saya berangkat).
قَالَ أَنَسٌ: وَاللهِ لَقَدْ خَدَمْتُهُ تِسْعَ سِنِينَ، مَا عَلِمْتُهُ قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا؟ أَوْ لِشَيْءٍ تَرَكْتُهُ: هَلَّا فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا؟
Lalu Anas mengomentari: “Demi Allah aku telah melayani beliau selama 9 tahun. Aku tidak pernah mengetahui beliau mengungkapkan atau mengatakan untuk sesuatu yang telah aku lakukan: ‘Kenapa engkau melakukan ini dan itu?’ Aku juga tidak pernah mengetahui beliau mengatakan untuk sesuatu yang aku tinggalkan (yang tidak aku lakukan): ‘Kenapa engkau tidak melakukan ini dan begitu?'”
وَحَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ وَأَبُو الرَّبِيعِ قَالَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
Dengan sanad kepada Anas bin Malik dia mengatakan: “Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah manusia yang terbaik akhlaknya.”
Imam Muslim mencantumkan hanya poin-poin ini, yaitu bagaimana Nabi tidak pernah mencela mencaci Anas yang membantunya, tidak juga mengatakan ungkapan perkataan yang mengungkapkan berat hati atau ungkapan yang lainnya. Kalau satu hal yang kita anggap satu hal yang biasa itu tidak dilakukan oleh Nabi, apalagi perkataan-perkataan yang lebih dari itu.
Anas bin Malik pada hadits yang pertama dikatakan beliau melayani 10 tahun. Pada hadits yang lain dikatakan adalah 9 tahun. Dalam riwayat yang banyak mengatakan 10 tahun maknanya artinya adalah أَنَّهَا تِسْعُ سِنِينَ وَأَشْهُرٌ (yakni 9 tahun sekian bulan). فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَقَامَ بِالْمَدِينَةِ عَشْرَ سِنِينَ تَحْدِيدًا لَا تَزِيدُ وَلَا تَنْقُصُ (Karena Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bermukim di Madinah selama 10 tahun tidak ditambah tidak berkurang).
وَخَدَمَهُ أَنَسٌ فِي أَثْنَاءِ السَّنَةِ الْأُولَى (Anas bin Malik melayani Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mulai semenjak pertengahan tahun pertama). Dia sudah datang, sudah baru orang tuanya datang menyerahkan kepada Nabi. وَفِي رِوَايَةٍ لَمْ يُحْسَبِ الْكَسْرُ بَلِ اعْتُبِرَ السِّنُونَ الْكَوَامِلُ، وَفِي رِوَايَةِ الْعَشْرِ حَسَبَ كَسْرَ السَّنَةِ سَنَةً كَامِلَةً (Dalam hitungan 9 maka pecahannya tid1ak dianggap; 9 tahun 2sekian bulan, jadi sekian bulannya tidak diangkat. Yang dihitung hanya tahun-tahun yang sempurna, berarti 9 tahun. Dalam riwayat yang 10 berarti dihitunglah bulan-bulan tambahan sebagai 1 tahun yang sempurna ya, sehingga dihitung menjadi 10 tahun). Yang kedua-duanya adalah sahih benar.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيَانُ كَمَالِ خُلُقِهِ ﷺ (Maka dalam hadits ini menunjukkan atau menerangkan kepada kita sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang sempurna). وَحُسْنِ عِشْرَتِهِ وَحِلْمِهِ وَصَفْحِهِ (Kesempurnaan akhlak beliau, pergaulan yang baik yang beliau lakukan, sifat sayang beliau, dan sifat pemaaf beliau). Anas yang tidak ada hubungan nasab dengan beliau sama sekali yang melayani beliau, pasti dalam pelayanan terjadi kekurangan-kekurangan, tapi beliau tetap bersikap baik karena beliau bergaul dengan baik. Beliau sangat penyayang, beliau sangat pemaaf sehingga beliau tidak mengatakan perkataan “Kenapa engkau tidak lakukan ini?”, “Kenapa engkau mengatakan…?”, tidak pernah mengupat, tidak pernah mencaci.
Sebagaimana juga Anas Malik mengatakan dalam riwayat yang lain: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا (Nabi tidak pernah bersikap keji dan berkata keji). Beliau adalah suri tauladan yang terbaik bagi kita dan disuruh kita untuk mencontohnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh telah ada bagimu pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 21).
Ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, beliau mengatakan: كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ (“Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an”). Yakni Al-Qur’an yang beliau amalkan, yang beliau realisasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Semoga kita bisa mengikutinya, terutama menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber akhlak kita. Nah, tentu baru bisa kita jadikan Al-Qur’an sebagai akhlak kita jika kita membacanya. Dan ketika kita membacanya, kita memahami apa yang kita baca. Sebab kalau seandainya kita membaca tidak tahu dengan apa yang kita baca, maka dia tidak memberikan pengaruh sama sekali. Ya, karena kita tidak tahu apa yang sedang kita baca.
Sementara firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini adalah petunjuk:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadan diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai keterangan terhadap petunjuk (rincian petunjuk itu ada dalam Al-Qur’an).” (QS. Al-Baqarah: 185).
Maka oleh karena itu ulama mengatakan tujuan Al-Qur’an itu diturunkan adalah untuk ditadaburi, untuk dipahami. Kita tidak bisa memahami kecuali setelah membaca. Dan kemudian membacanya kita tidak akan bisa memahami kecuali mengetahui kosakata Al-Qur’an. Kalau kita tidak kuasai bahasa Arab atau kosakatanya, kita tidak akan bisa paham.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Kenapa mereka tidak mentadaburi (memahami/menghayati) Al-Qur’an? Atau pada hati mereka ada kunci (gembok) yang mengunci hati?” (QS. Muhammad: 24).
Boleh jadi ada orang yang paham dengan kosakata Al-Qur’an, tapi ternyata ketika dia baca tidak ada realisasi dalam kehidupannya, berarti hatinya terkunci. Atau dia baca Al-Qur’an tapi memang tidak tahu dengan makna Al-Qur’an, maka juga dia tidak akan bisa memahaminya. Sementara Allah mengatakan dalam surah Shad ayat 29:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Sebuah Kitab yang penuh berkah yang Kami turunkan kepadamu agar mereka mentadaburi (menghayati) ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal bisa mengambil pelajaran.”
Artinya bisa mengamalkannya; mengamalkannya setelah menghayati dan memahami. Maka oleh karena itu, mari kita berupaya dan berusaha untuk memahami Al-Qur’an dan mengamalkannya, dan melakukan—ya melakukan hal-hal yang bisa memahami Al-Qur’an. Kita belajar bahasa Arab, mungkin kita belajar membaca Al-Qur’an secara harfiah terjemahan satu perkata satu kata yang bisa menghantar kita untuk bisa memahami Al-Qur’an. Wallahu Ta’ala A’lam.
Demikian yang dapat kita sampaikan. Semoga bermanfaat.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
