Syarah Shahih Muslim: Bab – Rasa malu Rasulullah ﷺ yang sangat
اللَّهُمَّ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَانْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَزِدْنَا عِلْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا. اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا. يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ نَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ وَلَا تَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ.
Kaum muslimin dan muslimat رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللهُ. Kembali kita melanjutkan kajian hadits dari صَحِيحُ مُسْلِمٍ (Sahih Muslim) dalam كِتَابُ الْفَضَائِلِ (Kitab Al-Fadhail/Keutamaan-Keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Kita masuk kepada bab yang baru:
بَابُ كَثْرَةِ حَيَائِهِ ﷺ
(Bab: Rasa malu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat. Ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang sangat pemalu).
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، سَمِعَ عَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي عُتْبَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ … ح وَحَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَأَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ، قَالُوا – وَاللَّفْظُ لِزُهَيْرٍ -: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي عُتْبَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ.
(Diriwayatkan) dengan sanadnya kepada Abi Said Al-Khudri رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ di mana Abi Said Al-Khudri menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat pemalu, lebih malu daripada seorang gadis perawan yang berada di balik tirai kamarnya.”
وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
“Dan jika beliau tidak menyukai sesuatu, maka kami dapat mengetahuinya dari raut wajah beliau.”
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَا: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ شَقِيقٍ، عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو حِينَ قَدِمَ مُعَاوِيَةُ إِلَى الْكُوفَةِ، فَذَكَرَ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَقَالَ: لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا. وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا.
Dengan sanadnya kepada Masruq, dia berkata: “Kami pernah mendatangi Abdullah bin Amr di saat Muawiyah datang ke kota Kufah.”
فَذَكَرَ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَقَالَ: لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا
(Beliau menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan perbuatan keji dan tidak pula bersikap dengan dibuat-buat untuk melakukan perbuatan keji”).
وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
(Dan dia mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang paling istimewa di antara kalian adalah orang yang akhlaknya baik”).
Imam Nawawi mengatakan:
قَوْلُهُ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih malu daripada gadis perawan yang bersembunyi di balik tirai kamarnya).
أَمَّا الْعَذْرَاءُ: فَالْبِكْرُ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِبَقَاءِ عُذْرَتِهَا
(Al-‘Adzra’ yaitu gadis yang masih perawan. Dinamakan demikian karena rasa malunya itu ada di perawannya).
وَالْخِدْرُ: سِتْرٌ يُجْعَلُ لِلْبِكْرِ فِي جَانِبِ الْبَيْتِ
(Dan Al-Khidr itu adalah tirai yang dibuat untuk seorang anak gadis yang masih perawan di rumahnya, yakni untuk dia bersembunyi karena dia sangat malu sekali ya).
Malunya, malunya perempuan itu di keperawanan. Ketika dia tidak perawan lagi rasa malunya hilang. Makanya di dalam menikahkan anak gadis dengan janda itu berbeda ya. Kalau yang masih gadis يُسْتَأْذَنُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا (diminta izin, dan izinnya adalah dia diam). Ketika dibilang oleh orang tuanya, ayahnya, “Ada yang melamar, si fulan melamar Anda,” lalu dia diam aja, berarti dia setuju. Kenapa? Enggak mungkin dia mengatakan, “Oh, iya saya mau.” Kecuali mungkin anak sekarang. Ya, kalau dia tidak mau pasti dia protes. Ya, kalau tidak mau pasti dia protes.
وَأَمَّا الثَّيِّبُ تُسْتَأْمَرُ (Adapun yang sudah menikah/yang janda, hendaklah dia minta diperintah). Yakni boleh jadi dia meminta kepada orang tuanya, “Abi nikahkan saya,” karena rasa malunya sudah tidak ada. Atau makna dari kata ulama adalah izinnya itu dengan suara. “Ini ada yang mau lamarmu. Mau atau tidak mau?” Jadi tidak cukup dengan dia diam saja.
وَقَوْلُهُ: وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila tidak menyukai sesuatu kami mengetahuinya dari raut wajahnya atau di raut wajahnya).
مَعْنَاهُ: أَنَّهُ لَا يَتَكَلَّمُ بِالشَّيْءِ الَّذِي يَكْرَهُهُ لِحَيَائِهِ، بَلْ يَتَغَيَّرُ وَجْهُهُ فَنَفْهَمُ نَحْنُ كَرَاهَتَهُ
(Maknanya: Bahwa Nabi tidak berbicara dengan sesuatu yang tidak beliau sukai karena rasa malunya, akan tetapi wajahnya berubah sehingga kami memahami ketidaksukaan beliau).
Ketika Nabi tidak suka dengan sesuatu, beliau diam aja. Diamnya beliau diiringi dengan berubahnya raut wajahnya. Kalau dia diam dan tidak berubah raut wajahnya, apa namanya? تَقْرِيرٌ (Taqrir). Ahsan. Itu namanya Taqrir, yakni perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi, Nabi no comment, diam aja. Kalau itu adalah haram, tentu Nabi sudah melarangnya.
Lalu apa perbedaannya kalau seandainya dia tidak suka di raut wajah? Kalau raut wajahnya sudah berbeda, mukanya memerah atau lainlah raut wajahnya, maka ini berarti tidak disukai oleh Nabi dan itu tidak bisa kita lihat kecuali dijelaskan oleh para sahabat. Makanya sahabat itu sangat mengerti sekali tentang maunya Rasulullah. Ya, bahasa tubuh itu tidak bisa dibaca dari lafaz hadits kecuali dideskripsikan/digambarkan oleh para sahabat.
وَفِيهِ فَضِيلَةُ الْحَيَاءِ، وَأَنَّهُ مِنْ شُعَبِ الْإِيمَانِ، وَأَنَّهُ خَيْرٌ كُلُّهُ وَلَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
(Di dalam hal ini terdapat faedah keutamaan rasa malu/keutamaan memiliki rasa malu. Rasa malu ini adalah bagian dari cabang-cabang keimanan. Rasa malu itu semuanya baik. Rasa malu itu tidak akan ada kecuali baik).
Ini diungkapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Nabi melewati ada dua orang, yang satu seperti mencela atau menyesali perbuatan saudaranya karena dia malu. Seakan-akan malunya itu sudah memudaratkan dirinya. Mungkin haknya yang tidak diambil, jatahnya yang tidak diambil. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan.”
Ya, sampai haknya tidak diterima. Kalau dia tidak mau ya itu baik untuk dia dan orang lain. Kadang-kadang kita yang terlalu ya ikut campur orang malu. “Kenapa kita yang… jangan malu ngambil hak Anda,” gitu kan. Ya dia malu enggak mau dia ngambil haknya. Sudah, kan haknya dia bukan haknya kita.
وَقَدْ سَبَقَ هَذَا كُلُّهُ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ شَرَحْنَاهُ وَاضِحًا
(Hal ini telah berlalu semuanya di dalam Kitab Al-Iman dan kami telah memberikan penjelasan dengan cara jelas).
وَهُوَ مَحْضُوضٌ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَنْتَهِ إِلَى ضَعْفٍ وَخَوَرٍ
(Maka rasa malu ini dimotivasi, didorong, sangat dianjurkan selama tidak membuat seseorang itu lemah atau bersikap sombong).
Hal ini sudah dijelaskan sebelumnya. Maka rasa malu inilah yang perlu dipupuk. Pas malu bagian dari Syu’abul Iman (cabang iman). Kata Nabi:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – شُعْبَةً، أَعْلَاهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Iman itu 60 sekian atau 70 sekian cabang. Yang tertinggi adalah perkataan Lailahaillallah (kesaksian tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah), dan yang paling rendah itu menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.”
Ya, Subhanallah. Hari ini cabang keimanan ini sangat banyak sekali ya, kawan-kawan di relawan yang membersihkan rumah-rumah warga, membersihkan jalan dari gangguan bekas dari banjir, yaitu pahala iman. Ya, maka tentu ini yang lebih kita kedepankan. Bagaimana kita bisa mendapatkan pahala yang banyak dalam hal ini?
Hadits yang kedua tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا
قَالَ الْقَاضِي: أَصْلُ الْفُحْشِ الزِّيَادَةُ وَالْخُرُوجُ عَنِ الْحَدِّ
(Qadhi Iyadh menuturkan bahwa asal kata Fuhsy atau keji itu berarti sesuatu yang melampaui batas/ziadah. Jadi kalau dalam ungkapan ulama hadits misal “Si Fulan fahisy fil ghalat”, yakni si fulan sangat keliru sekali, sering keliru. Atau misalkan ungkapan juga Arab misalkan ini orang yang kaya raya, betul-betul luar biasa kayanya, lalu dikatakan “ats-tsara’ fahisy ats-tsara'” yakni berlebihan, keluarnya dari batas yang normal itu namanya Fuhsy).
قَالَ الطَّبَرِيُّ: الْفَاحِشُ الْبَذِيءُ (Kalau dalam bentuk isim fa’il Fahisy adalah Badzi’, orang yang lidahnya tajam, yang suka mencaci maki. Kata-kata yang keluar adalah kata-kata yang keji, yang berbuat keji).
قَالَ ابْنُ عَرَفَةَ: الْفَوَاحِشُ عِنْدَ الْعَرَبِ الْقَبَائِحُ
(Menurut Ibnu ‘Arafah, Al-Fawahisy—jamak dari Fahisy—menurut Arab adalah Al-Qabaih, yang keji-keji yang jelek-jelek).
قَالَ الْهَرَوِيُّ: الْفَاحِشُ ذُو الْفُحْشِ، وَالْمُتَفَحِّشُ الَّذِي يَتَكَلَّفُ الْفُحْشَ وَيَتَعَمَّدُهُ لِفَسَادِ حَالِهِ
(Al-Harawi berkata: Al-Fahisy adalah orang yang berbuat keji. Dan Al-Mutafahisy adalah orang yang bersikap dibuat-buat untuk melakukan perbuatan keji. Artinya orang yang sengaja melakukannya karena dia memiliki kepribadian yang buruk. Yakni orang kalau Fahisy mungkin spontanitas. Kalau Mutafahisy selalu berupaya untuk berbuat keji. Apa yang menyebabkan dia selalu berbuat keji? Karena sifat dasarnya yang buruk di dalam jiwanya, sehingga selalu dia berbuat kekejian. Ada kesengajaan. Kalau Fahsy yang pertama mungkin itu tidak ada kesengajaan. Tapi memang ada karakter pada dirinya. Spontanitas dia melakukan itu).
Ya, kalau seandainya kita mengatakan perkataan yang jelek atau perkataan yang buruk misalkan, termasuk yang fahisyi itu adalah orang yang suka carut-marut. Ngomong sedikit sudah bercarut-carut ya, itu fahisy. Tapi dia sengaja dan berupaya untuk melakukan itu, itu namanya mutafahisy. Ada kesengajaan, ada yang dia berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang keji disebabkan karena sifat itu sudah ada pada dirinya.
وَقَدْ يَكُونُ الْمُتَفَحِّشُ الَّذِي يَأْتِي الْفَاحِشَةَ (Ada lagi mengatakan bahwa Mutafahisy itu diartikan dengan orang yang berbuat zina). Jadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah punya sifat keji dan tidak juga suka berbuat keji. Nah, gitu. Tidak berkata keji, tidak juga suka berkata keji.
قَوْلُهُ: إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya orang yang paling istimewa, orang pilihan kalian, orang yang istimewa itu adalah orang yang akhlaknya baik”).
فِيهِ الْحَثُّ عَلَى حُسْنِ الْخُلُقِ، وَبَيَانُ فَضِيلَةِ صَاحِبِهِ
(Di dalam ungkapan ini… dorongan, motivasi, anjuran untuk berakhlak baik. Dan hadits ini juga memberikan keterangan keutamaan orang yang memiliki sifat baik, akhlak yang baik).
وَهُوَ صِفَةُ أَنْبِيَاءِ اللهِ تَعَالَى وَأَوْلِيَائِهِ (Akhlak yang baik ini merupakan sifat para Nabi Allah dan para wali Allah).
قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: حَقِيقَةُ حُسْنِ الْخُلُقِ بَذْلُ الْوَمَعْرُوفِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَطَلَاقَةُ الْوَجْهِ
(Hasan Al-Bashri mengatakan: Hakikat dari akhlak yang baik itu adalah memberikan sesuatu yang ma’ruf kepada orang lain/yang baik. Boleh jadi memberikan sesuatu yang berharga kepada orang lain. Memberikan sesuatu yang ma’ruf, ma’ruf itu adalah hal yang baik. Menahan diri untuk menyakiti orang lain. Dan bermuka cerah/ramah ketika bertemu dengan orang lain).
Jadi kalau seandainya ada orang ketemu dengan kita senyum, dia enggak pernah menyakiti kita walaupun dia tidak pernah memberi, ya maka kita pasti mengatakan, “Eh, anak itu akhlaknya elok.” Mana? Senyum aja itu sudah kita katakan akhlaknya elok. Tapi coba ketemu dengan kita selalu model salah, sewa (cemberut) ya, muka masam ya kan, yang bengis gitu kan. Jadi suka memberi, tidak pernah menyakiti, ketemu dengan orang ringan enggak ada masalah. Nah, inilah akhlak yang baik.
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ: هُوَ مُخَالَطَةُ النَّاسِ بِالْجَمِيلِ وَالْبِشْرِ، وَالتَّوَدُّدُ لَهُمْ، وَالْإِشْفَاقُ عَلَيْهِمْ، وَاحْتِمَالُهُمْ، وَالْحِلْمُ عَنْهُمْ، وَالصَّبْرُ عَلَيْهِمْ فِي الْمَكَارِهِ، وَتَرْكُ الْكِبْرِ وَالِاسْتِطَالَةِ عَلَيْهِم1ْ2، وَمُجَانَبَةُ الْغِلْظَةِ وَالْغَضَبِ وَالْمُؤَاخَذَةِ
(Qadhi Iyadh mengatakan: Berakhlak baik itu maksudnya bergaul dengan manusia dengan sikap yang baik, muka yang cerah, ada rasa empati/rasa cinta untuk mereka, ada sifat mengasihi mereka, ada ihtimal ada rasa sabarnya membantu mereka menghadapi mereka ya, dan bersikap toleransi kepada mereka. Bersabar menghadapi mereka di dalam hal-hal yang kurang disukai. Mungkin sedikit karakter orang ini harus sabar. Janji tapi terlambat, biasa bahwa itu ajak orang malas-malas juga kita bersabar. Kadang-kadang kita disakiti bersabar kita. Itu adalah bagian dari akhlak yang baik. Meninggalkan sifat sombong. Dan tidak mengganggu mereka/Al-Istithalah ini juga bisa tidak apa ya, ringan lidah kita bicaranya. Karena ada orang kadang-kadang lidahnya tidak dikontrol ya sehingga dihantamnya orang sakit hati orang atau gak sakit hati orang pokoknya sudah ngecek ah gitu. Ini gak boleh ya. Berusaha untuk menjauhkan dirinya dengan sikap kasar, marah-marah, dan mencela mereka).
Ya kan ada orang sedikit salah orang lalu dicela. Nah, sikap ini harus perlu ada التَّغَافُلُ (perlu ada kita bersikap memejamkan mata/tidak hitung-hitungan gitu). Sebab setiap kekeliruan dihitung, dihitung itu ternyata juga tidak ada… tidak akhlak yang baik.
قَالَ الْقَاضِي: وَحَكَى الطَّبَرِيُّ خِلَافًا لِلسَّلَفِ فِي حُسْنِ الْخُلُقِ: هَلْ هُوَ غَرِيزَةٌ أَمْ مُكْتَسَبٌ؟
(Qadhi Iyadh dia mengatakan, At-Thabari meriwayatkan perihal yang berbeda dengan kaum salafus saleh dan mempertanyakan apakah akhlak baik itu adalah merupakan sifat naluri atau insting atau dia merupakan muktasab, atau dia adalah dapat diraih dengan dilatih sifat akhlak ini. Akhlak yang baik ini).
قَالَ الْقَاضِي: وَالصَّحِيحُ أَنَّ مِنْهُ مَا هُوَ غَرِيزَةٌ، وَمِنْهُ مَا يُكْتَسَبُ بِالتَّخَلُّقِ وَالِاقْتِدَاءِ بِغَيْرِهِ
(Qadhi Iyadh mengatakan: Yang benar itu ada sebagian yang memang bawaan insting yang ada padanya. Yakni Allah sudah ciptakan pada dia sifat-sifat itu. Di antaranya ada yang bisa diraih dengan cara upaya usaha untuk melatih membiasakan ya, dan dengan mencontoh yang lain).
Maka oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Jadi sifat itu terbagi kepada dua. Ada yang bawaan memang Allah sudah ciptakan pada orang itu. Ada yang dengan usaha. Jadi tidak ada yang namanya “Sudah bawaan pemberang itu, sudah itu ambo Allah ciptakan, baliklah,” sifat “si lah i balik” gak bisa kok. Orang yang tidak bersabar bisa berlatih dengan cara berlatih untuk bersabar. Semua kita dilahirkan dalam keadaan tidak berilmu. Bagaimana cara kita bisa dapatkan ilmu? Adalah dengan belajar. الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ (Ilmu itu dengan cara kita belajar, melatih diri kita). الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ (Sikap bijaksana adalah dilatih dengan cara berlatih untuk bijaksana).
Ya, kalau ada orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah ciptakan pada dirinya sifat bijaksana, alhamdulillah ini luar biasa. Tapi yang tidak, bisa diaraih dengan cara dia bisa dengan cara berlatih. Jadi tidak ada yang tetap dia mengatakan “Oh enggak ini sudah Allah ciptakan pemberang memang sakit pemberang lagi. Ya alah tua kini ke pemberang ya. Itulah gak berarti Anda tidak berupaya untuk melatih diri, berusaha memperbaiki diri.”
Nah, apa makna dari akhlak Nabi itu adalah Al-Qur’an? Ya, Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai karakter apabila sudah proses تَخَلُّق (Takhalluq). Apa makna Takhalluq? Ada proses pembiasaan. Ya, pembiasaan. Jika dia sudah membiasakan dirinya, maka dia menjadi karakter. Ada orang yang dulunya pemarah, tapi dia berupaya, berupaya dia sabar, upaya dia sabar. Sehingga kesabaran itu sudah menjadi karakter yang melengket. Itu karena dia berlatih, latih, latih, latih, latih, latih, akhirnya menjadi kebiasaan. Nah, ulama mengatakan salah satu cara pelatihan itu masa untuk melatih di antaranya adalah 40 hari. Ya, kalau sesuatu itu dibiasakan selama 40 hari berturut-turut, insyaallah itu akan bisa menjadi karakter. Wallahu Ta’ala A’lam.
Demikian yang dapat kita sampaikan. Semoga bermanfaat.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
