0%
Kembali ke Blog Syarah Shahih Muslim: Bab – Kasih sayang Nabiﷺ

Syarah Shahih Muslim: Bab – Kasih sayang Nabiﷺ

08/12/2025 7 kali dilihat 8 mnt baca

اللَّهُمَّ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَانْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَزِدْنَا عِلْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا. اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا. يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ نَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ وَلَا تَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ.

Kaum muslimin dan muslimat رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللهُ. Kembali kita melanjutkan kajian kita tentang صَحِيحُ مُسْلِمٍ (Sahih Muslim) di dalam pembahasan كِتَابُ الْفَضَائِلِ (Kitab Al-Fadhail/Pembahasan Keutamaan-Keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kita ambillah bab yang ke-15:

بَابُ رَحْمَتِهِ ﷺ الصِّبْيَانَ وَالْعِيَالَ، وَتَوَاضُعِهِ وَفَضْلِ ذَلِكَ

(Bab: Kasih sayang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta sopan santun beliau terhadap anak-anak dan keluarga, serta keutamaan hal itu).

حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ وَشَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:

(Diriwayatkan) dengan sanadnya kepada Anas bin Malik رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, dia mengatakan, yakni Anas menceritakan, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

وُلِدَ لِيَ اللَّيْلَةَ غُلَامٌ، فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ

“Tadi malam aku dikaruniai seorang anak laki-laki, maka aku beri dia nama dengan nama bapakku, yaitu Ibrahim.”

ثُمَّ دَفَعَهُ إِلَى أُمِّ سَيْفٍ امْرَأَةِ قَيْنٍ يُقَالُ لَهُ أَبُو سَيْفٍ

(Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan anak beliau kepada Ummu Saif, istri seorang tukang pandai besi yang biasa dipanggil dengan Abu Saif).

فَانْطَلَقَ يَأْتِيهِ وَاتَّبَعْتُهُ

(Suatu hari beliau berangkat menemuinya, yakni menemui Abu Saif. Aku pun mengikuti beliau).

فَانْتَهَيْنَا إِلَى أَبِي سَيْفٍ وَهُوَ يَنْفُخُ بِكِيرِهِ، قَدِ امْتَلَأَ الْبَيْتُ دُخَانًا

(Sehingga kami sampailah ke rumahnya Abu Saif yang mana dia sedang meniup dengan pompa api atau sedang meniup api karena dia tukang pandai besi. Rumah itu sudah penuh diisi oleh asap karena ditiup terus).

فَأَسْرَعْتُ الْمَشْيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقُلْتُ: يَا أَبَا سَيْفٍ، أَمْسِكْ، جَاءَ رَسُولُ اللهِ ﷺ. فَأَمْسَكَ

(Lalu aku mempercepat jalan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam—yakni dia lebih dahulu dari Rasulullah datang. Lalu aku mengatakan: “Wahai Abu Saif, berhentilah. Rasulullah telah datang.” Lalu dia berhenti).

فَدَعَا النَّبِيُّ ﷺ بِالصَّبِيِّ، فَضَمَّهُ إِلَيْهِ، وَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُولَ

(Lalu Nabi meminta untuk dihadirkan anaknya… Fadammahu ilaihi/Lalu Nabi merangkul atau menggendongnya. Lalu Anas mengatakan: Beliau mengatakan sesuatu yang luar biasa, Masyaallah apa yang beliau ucapkan).

Jadi ketika dia lahir kemudian diantarkan anak, diserahkan oleh Nabi anaknya ini ke Ummu Saif lalu dipelihara, disusui. Kemudian Nabi pulang, tentunya tentu Nabi kunjungi anaknya, kunjungi anaknya. Nah, pada suatu hari beliau mengunjungi anaknya dengan Anas, Anas mengikutinya, yang mana kondisi pada saat itu Abu Saif sedang bekerja pandai besi ya, meniup api. Kondisi rumah pada saat itu sudah dipenuhi oleh asap. Lalu sampai Nabi di sana, Nabi minta anaknya.

قَالَ أَنَسٌ: لَقَدْ رَأَيْتُهُ وَهُوَ يَكِيدُ بِنَفْسِهِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ ﷺ

(Lalu Anas mengatakan: “Aku melihat Ibrahim meregang nyawa ketika menghadapi sakaratul maut di hadapan Rasulullah”).

Ini ketika Nabi menggendongnya ternyata anak ini sedang sakaratul maut.

فَدَمَعَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: تَدْمَعُ الْعَيْنُ وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ، وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا. وَاللهِ يَا إِبْرَاهِيمُ إِنَّا بِكَ لَمَحْزُونُونَ

(Lalu kedua mata Rasulullah mengalirkan air mata. Lantas beliau mengatakan: “Mata melelehkan airnya dan hati bersedih. Dan tidaklah kita mengucapkan kecuali apa yang diredhai oleh Rabb kita. Demi Allah, wahai Ibrahim, sesungguhnya kami sungguh telah bersedih denganmu.”)

Jadi Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika datang ternyata ya kondisi anaknya sedang meregang nyawa. Dari hadits ini ada beberapa pelajaran bisa kita ambil:

  1. فِيهِ جَوَازُ تَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ وِلَادَتِهِ (Faedah yang pertama: Bolehnya memberi nama anak pada hari dia dilahirkan). Pada hari kelahirannya boleh kita beri nama, tidak [harus] pada hari yang ketujuh. Sunnahnya hari ketujuh diakikahkan kemudian diberi nama, digundulkan ya. Tapi boleh pada hari dia lahir langsung dikasih nama. Sebelum lahir boleh enggak dikasih nama? Hah? Boleh. Ya, Nabi Yahya diberi nama sebelum dia lahir. Baik. Tapi kalau sebelum tahu ya gimana beri nama nama perempuan atau laki-laki? Boleh dirancang. Kalau laki-laki namanya ini, kalau perempuan namanya ini. Ya, baik. Mudah-mudahan nanti kita belajar tentang fikih nama ini insyaallah ya.
  2. وَجَوَازُ التَّسْمِيَةِ بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ (Yang kedua: Boleh memberi nama dengan nama-nama para Nabi). وَسَبَقَتِ الْمَسْأَلَتَانِ فِي بَابِهِمَا (Dua permasalahan ini sudah berlalu di babnya). Ya bab nama-nama ini sudah, bahwa beri nama itu ya nama-nama Nabi, boleh nama-nama yang baik. Memberi nama baik anak itu adalah kewajiban dan hak; kewajiban ayah terhadap anaknya dan hak anak dari ayahnya. Namanya enggak usah panjang-panjang: Ibrahim, Musa, Muhammad. Ya, nama yang keduanya nama bapaknya, nama ketiganya nama kakeknya mungkin. Kalau bapaknya terdiri dari dua kata, sudah nama bapaknya yang kedua. Sehingga dia tiga kosakata atau tiga kata ya. Tiga kata. Jangan kita ngasih nama panjang tapi bapaknya enggak disebut ya. Namanya panjang entah apa, alamatnya gak ada. Ini anak siapa ini? Gitu ya. Baik.
  3. وَفِيهِ اسْتِتْبَاعُ الْعَالِمِ وَالْكَبِيرِ بَعْضَ أَصْحَابِهِ إِذَا ذَهَبَ إِلَى مَنْزِلِ قَوْمٍ وَنَحْوِهِ (Faedah yang ketiga: Seorang alim atau yang sudah tua/senior minta diiringi oleh sebagian muridnya atau sahabatnya; diminta ditemani atau diiringi apabila dia pergi ke salah satu rumah kaumnya atau muridnya atau rumah warganya dan yang lainnya). Jadi jangan dia sendirian berangkatnya, ada yang menemani.
  4. وَفِيهِ الْأَدَبُ مَعَ الْكِبَارِ (Yang keempat: Yakni di sini terdapat adab/etika sopan santun dengan orang yang sudah tua). Apa di antaranya tadi di hadits? Ya tidak kondusif ya, masa Rasulullah datang masih bekerja ya, kayak acuh. Maka Anas datang duluan dan mengingatkan berhenti dulu kerjanya gitu ya. Kalau sedang di dapur ya sudah berhentilah dulu. Datang orang sedang di bengkel, berhenti dulu ya, terima dengan baik.

Thayyib, dari hadits ini. Ini juga bolehnya kita mengatakan “Bapakku” terhadap kakek walaupun kakek jauh. Maksud kakek jauh itu level berikutnya. Karena Nabi Ibrahim adalah kakeknya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ya, tapi sudah tingkat yang ke berapa gitu. Nah, maka dalam Al-Qur’an dikatakan آبَاؤُكُمْ (bapak-bapaku), yakni nenekmu yang kakek-kakek. Dan Nabi Ibrahim terkenal dengan gelar bapak para Nabi ya, atau bisa juga nenek moyangnya para Nabi.

Baik. Ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memangku atau menggendong anaknya, ternyata anaknya sedang sekarat, meregang nyawa. Lalu berlinanglah air mata Rasulullah, menangis. Hati beliau pun sedih. Apa faedah yang bisa kita ambil di sini? Faedah yang bisa kita ambil di sini adalah:

فِيهِ جَوَازُ الْبُكَاءِ عَلَى الْمَرِيضِ (Bolehnya menangis ketika bertemu dengan orang yang sakit). Berarti kalau ibunya sakit, ayahnya sakit, anaknya sakit, istrinya sakit, boleh menangis. Begitu juga boleh bersedih. وَالْحُزْنُ (Dan bersedih). Apa bedanya hazan dengan huzn? Hazan itu susah. Al-Huznu bersedih.

وَأَنَّ ذَلِكَ لَا يُخَالِفُ الرِّضَا بِالْقَدْرِ، بَلْ هِيَ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ

(Bahwasanya menangis dan bersedih ketika di hadapan orang yang sakit itu tidak kontradiksi dengan ridha terhadap takdir).

Bukan berarti kalau menangis berarti tidak menerima keadaan, tidak menerima takdir gitu ya. Tidak. Kenapa tidak? Malahan menangisnya mata—ya artinya mata berlinang, mata mengucurkan air mata kemudian hati bersedih—itu adalah kasih sayang. Rasa kasih sayang yang telah Allah jadikan atau telah Allah letakkan di hati-hati hamba-Nya. Malahan kalau tidak menangis dipertanyakan gitu ya. Keras sekali, enggak ada rasa kasih sayang gitu, rasa sedih ya. Sedih itu terkadang ya tercermin dengan melelehnya air mata. Malahan juga rasa gembira juga ada yang menangis karena gembira ya.

وَإِنَّمَا الْمَذْمُومُ النَّدْبُ وَالنِّيَاحَةُ وَالْوَيْلُ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنَ الْبَاطِلِ

(Yang terlarang itu adalah meratap).

An-Nadb: menyebut-nyebut ya, dengan… termasuk juga kebiasaan dari Minang itu ada yang tidak baik, yaitu maratuk (meratuk). Bagian dari meratuk itu apa? Dibawa ke dalam seni apa? Merabab. Ya. Rabab. Coba dengar syair-syair Rabab itu, semuanya adalah bercerita tentang kesedihan atau apa ya, bukan kayak mau pik gitu loh ya. Tidak menerima dengan keadaan, ini enggak boleh. Sebut-sebut kebaikan yang meninggal kemudian menyebabkan nangis, lalu apa, seakan-akan tidak ada lagi tempat bersandar dan yang lainnya.

Niyah: meratap ya, niyah ini ya gitu juga ya bentuk mengapresiasi apa menggambarkan bagaimana tidak mau menerima takdir. Wail: yakni doa terhadap diri sendiri, “celakalah badanku, celakalah,” ya itu adalah wail. Begitu juga. Makanya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukanlah dari golongan kami orang yang memukul-mukul wajahnya, merobek-robek bajunya, dan mengajak kepada seruan orang-orang Jahiliyah.”

(Orang yang memukul-mukul dadanya seperti yang dilakukan oleh orang Syiah ya. Setiap bulan Muharram itu adalah bulan kesedihan bagi mereka ya. Bulan meratap, hukumnya adalah haram, dosa besar). Dan semisalnya dengan perkataan-perkataan yang batil. Yakni perkataan yang menunjukkan tidak menerima keadaan ya. Supaya ada mengatakan, “Ya, saya belum siap untuk menerima keadaan ini.” Terus ngapain? Sudah, itu enggak ada. Harus diterima. Dan kesabaran itu:

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى

(Sabar itu letaknya adalah di awal kejadian).

Ya, beberapa hari kemarin ada rumahnya yang dihanyutkan oleh air dan bermacam-macam. Ada yang keluarganya meninggal. Nah, awal kejadian itulah diuji kita sabar atau tidak sabar. Kalau kita bersabar ini adalah ketetapan Allah, ah itu sukses kita dalam ujiannya. Setelah itu gak sabar lagi, tidak ada rasa apa… sudah pasrah terima, pasrah aja, terpaksa menerima gitu kan, berserah diri aja lagi. Tapi nilai sabar itu adalah di awal kejadian.

Lalu oleh karena itu Nabi mengatakan: وَقَوْلُهُ ﷺ: وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا (Dan tidaklah kita mengungkapkan, tidaklah kita mengucapkan kecuali apa yang diredhai oleh Rabb kita, oleh Tuhan kita). Nangis boleh, sedih boleh, tapi omongannya, ucapannya, kata-kata yang keluar harus kata-kata yang diredhai oleh Allah. Makanya ucapan ketika kita ditimpa musibah apa?

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”

Lalu: اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا (Kita katakan: “Ya Allah beri aku pahala di dalam musibahku ini dan berikan ganti yang terbaik darinya atau yang lebih baik darinya”). Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mengatakan: “Siapa yang ditimpa musibah lalu dia mengucapkan yang tadi, ya, maka tidaklah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan ganti lebih baik darinya.” Ya, HP lama hilang dibawa oleh air, pasti ganti HP baru. Betul gak? Ah, gak mungkin lagi ganti HP yang paling buruk. Walhasil diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang lebih baik. Sabar itu ya. Sabar.

Lalu kalau kita bertakziah atau ya takziah itu apa? Bukan dengan artian takziah itu menghibur ya (tapi tasliyah). Tasliyah itu mungkin bahasanya menghibur tuh ada orang konotasinya dengan musik. Ya, sebenarnya menghibur itu tidak mesti dengan musik konotasinya, tapi menghibur itu ada meringankan beban memberikan. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikan eh takziah itu dengan ungkapan:

إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى، وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، فَاصْبِرْ وَاحْتَسِبْ

(Kita ungkapkan: “Hanya milik Allah apa yang Dia ambil, dan milik Allah apa yang Dia beri. Dan setiap sesuatu di sisi Allah ada batas waktunya [yakni setiap sesuatu sudah ditentukan waktunya]. Maka oleh karena itu bersabar dan berharap pahalalah dari Allah”).

Kita dulu enggak punya apa-apa lalu Allah beri. Itu milik Allah. Milik Allah apa yang diambil-Nya. Dulu kita dikasih lalu diambil lagi. Ya, enggak ada di antara kita yang lahir pakai baju. Ya, semuanya kita lahir dengan telanjang. Tidak punya apa-apa, enggak punya harta, enggak punya rumah. Ya, diambil lagi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Itu yang kita ucapkan. Dulu waktu kejadian di Gempa Palu, kami pernah ke daerah ke belakang jauh. Lalu kita lihat di situ ada dua tempat bunyi musik keras-keras. Ya, kita tanya ternyata itu orang sudah kematian. Mungkin orientasinya apa, pikiran konotasinya hiburan itu adalah dengan musik gitu loh. Jadi orang bersedih masa pakai musik. Jadi menghiburnya itu adalah meringankan ya beban dengan menyuruh dia untuk bersabar.

Ya, Wallahu Ta’ala A’lam. Ini dulu yang dapat kita sampaikan. Insyaallah kita akan pelajari hadits-hadits berikutnya masih dalam bab ini dengan mengambil faedah-faedah.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ.

7