0%
Kembali ke Blog Hak Allah dan Hak Hamba (Syarah Hadis Muadz bin Jabal)

Hak Allah dan Hak Hamba (Syarah Hadis Muadz bin Jabal)

04/12/2025 74 kali dilihat 21 mnt baca

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.

اللَّهُمَّ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَانْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَزِدْنَا عِلْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا. اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ نَسْتَغِيثُ.

Kaum Muslimin dan Muslimat, rahimani wa rahimakumullah.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang senantiasa mencurahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita. Selawat serta salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ.

Setelah kita menyelesaikan pembahasan hadis-hadis Arbain Nawawiyah yang kemudian disempurnakan oleh Ibnu Rajab menjadi 50 hadis, kita akan mencoba mempelajari satu buku lagi yang pengarangnya mengumpulkan 40 hadis. Kumpulan 40 hadis ini berhubungan dengan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, رَبُّ الْعَالَمِينَ. Maksudnya adalah untuk membahas hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah-masalah atau kaidah-kaidah di dalam tauhid ibadah. Jadi, pembahasan kita mencakup 40 hadis. Insyaallah, setiap pertemuan kita mungkin akan mempelajari satu hadis, yang mana semuanya berhubungan dengan tauhid, terutama تَوْحِيدُ الْعِبَادَةِ (tauhid ibadah).

Hadis yang pertama adalah hadis dari Muadz bin Jabal:

كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ، فَقَالَ: يَا مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ؟ قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ؟ قَالَ: لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan: “Aku pernah menjadi boncengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tunggangan keledai.” Nabi dan Muadz berada di atas satu ekor keledai di mana Muadz dibonceng di belakang. يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ, nama keledai itu adalah ‘Ufair.

Beliau bersabda, يَا مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ؟ “Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui hak Allah atas hamba-hamba-Nya? Dan apa hak hamba atas Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Yakni, apakah engkau mengetahui hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba-hamba, dan apa hak hamba yang akan ditunaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala?

قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. Lalu aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Lalu beliau melanjutkan sabdanya: فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا. “Sesungguhnya hak Allah yang wajib atas hamba, yang wajib ditunaikan oleh hamba adalah hendaklah hamba-hamba itu mengibadati Allah, dan janganlah mereka mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah.”

وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. “Adapun hak hamba yang akan ditunaikan oleh Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengazab orang yang tidak mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah.”

Lalu aku (Muadz) berkata: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ؟ “Wahai Rasulullah, tidakkah aku berikan atau sebarkan kabar gembira ini kepada manusia?”12

Nabi menjawab: لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا. “Jangan engkau beritahukan kepada mereka, nanti mereka akan menyandarkan diri (berpangku tangan) kepada hadis ini saja.” Hadis ini مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ (Diriwayatkan oleh Buk3hari dan Muslim).4

Penjelasan Makna Tauhid

Hadis ini menunjukkan akan wajibnya mentauhidkan Allah, mentauhidkan Rabb semesta alam. Apa itu tauhid? Tauhid secara bahasa berasal dari kata وَحَدَ (wahada), yakni huruf wau, ha, dan dal. Asal makna وَاحِدٌ (wahid) itu menunjukkan akan keesaan, kesendirian, satu, tunggal. Yakni menjadikan yang berbilang menjadi satu, menjadikan yang beragam menjadi satu. Itulah yang dinamakan إِفْرَاد (ifrad), mengesakan atau menunggalkan. Itu secara bahasa. Kalau seandainya esa, itu berarti dia esa, tidak ada duanya. Esa itu memang satu, tunggal.

Adapun tauhid secara syariat menurut syara’:

إِفْرَادُ اللَّهِ بِمَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْأُلُوهِيَّةِ وَالرُّبُوبِيَّةِ وَالْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ

“Tauhid itu adalah mengesakan Allah dengan sesuatu yang merupakan kekhususan Allah. Baik dari sisi uluhiyah-Nya, baik dari sisi rububiyah-Nya, maupun dari sisi asma wa sifat.”

Yakni hal-hal yang merupakan hak Allah, maka kita esakan Allah di situ. Tidak boleh kita ikut sertakan yang lain. Baik dari sisi uluhiyah (penghambaan diri), maupun rububiyah (perbuatan Allah), ataupun asma wa sifat (nama-nama dan sifat-sifat Allah).

Pembagian Tauhid

Bapak dan Ibu, perlu kita ketahui bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga:

  1. تَوْحِيدُ الرُّبُوبِيَّةِ (Tauhid Rububiyah)
  2. تَوْحِيدُ الْأُلُوهِيَّةِ (Tauhid Uluhiyah)
  3. تَوْحِيدُ الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ (Tauhid Asma wa Sifat)

1. Tauhid Rububiyah

Apa itu Tauhid Rububiyah? Kita sudah mengetahui tadi arti tauhid adalah mengesakan, menunggalkan, tidak mengikut sertakan yang lain. Rububiyah berasal dari kata رَبٌّ (Rabb). Rabb bermakna menciptakan, memelihara, menghidupkan, dan mematikan. Maka makna Tauhid Rububiyah adalah:

إِفْرَادُ اللَّهِ بِأَفْعَالِهِ

“Mengesakan Allah dengan perbuatan-Nya.”

Apa maknanya? Bahwa Allah Esa di dalam perbuatan yang Allah lakukan. Allah Sang Pencipta. Di dalam mencipta, Allah Esa, tidak ada yang membantu Allah dalam menciptakan makhluk. Kalau seandainya tukang membuat rumah, dia tidak bisa membuat sendirian, tetapi ada orang lain yang ikut serta bersama dia di dalam membangun rumah. Walaupun tukang itu kepala tukangnya, tapi dia tidak bisa membangun rumah sendirian. Kalau ada yang mengatakan, “Eh, rumah itu saya yang membangun,” apakah sendirian? Tidak, tapi ada yang lain ikut serta.

Nah, Allah menciptakan, dan mencipta adalah perbuatan Allah, dan Allah Esa. Tidak ada satu pun yang ikut serta di dalam penciptaan yang Allah ciptakan. Allah mengatur alam dan tidak ada satu pun yang ikut serta mengatur alam. Allah memberi rezeki, الرَّازِقُ (Maha Pemberi Rezeki), tidak ada yang ikut serta di dalam memberikan rezeki kepada makhluk. Hanya Allah. Jadi kita esakan Allah di dalam perbuatan-Nya, bahwa Dia sendiri yang berbuat, tidak ada keikutsertaan yang lain.

2. Tauhid Uluhiyah

Adapun Tauhid Uluhiyah, uluhiyah itu adalah penghambaan atau ibadah. Maka maknanya adalah:

إِفْرَادُ اللَّهِ بِالْعِبَادَةِ

“Mengesakan Allah dengan ibadah.”

Yakni mengesakan Allah dengan ibadah yang kita lakukan. Bahwa apa pun bentuk ibadah yang kita kerjakan, tujuan kita hanyalah Allah saja. Maka Tauhid Uluhiyah juga dinamakan dengan Tauhid Ibadah. Kalau kita lihat tadi Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan Allah itu sendiri (bahwa di dalam Allah berbuat, Allah Esa, tidak ada sekutu), maka Tauhid Ibadah atau Tauhid Uluhiyah ini di antara ulama mengatakan definisinya adalah:

إِفْرَادُ اللَّهِ بِأَفْعَالِ الْعِبَادِ

“Mengesakan Allah dengan perbuatan hamba.”

Maksudnya apa? Apa yang diperbuat oleh hamba adalah ibadah. Maka ibadah yang semua dilakukan oleh hamba itu hendaklah dia berikan hanya kepada Allah semata. Kalau kita lihat orang di bumi ini, bermacam-macam objek yang mereka dekati atau mereka mintai tolong. Ada yang menyembah ini, ada yang menyembah itu. Tapi kalau Tauhid Uluhiyah, semua perbuatan manusia yang merupakan ibadah ini hanya diberikan kepada Allah saja.

3. Tauhid Asma wa Sifat

Adapun Tauhid Asma wa Sifat, yaitu mengesakan Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat. Itu makna Tauhid Asma wa Sifat. Tapi pengertian dari Tauhid Asma wa Sifat itu apa?

إِثْبَاتُ مَا أَثْبَتَهُ اللَّهُ لِنَفْسِهِ أَوْ أَثْبَتَهُ لَهُ رَسُولُهُ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيفٍ وَلَا تَمْثِيلٍ وَلَا تَكْيِيفٍ وَلَا تَعْطِيلٍ

“Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya, atau apa yang telah Rasulullah tetapkan untuk Allah, baik nama maupun sifat, tanpa تَحْرِيف (penyelewengan), tanpa تَعْطِيل (menghilangkan/menolak), tanpa تَمْثِيل (memberikan perumpamaan), dan tanpa تَكْيِيف (mendeskripsikan bagaimana bentuknya).”

Itu adalah Tauhid Asma wa Sifat. Allah menetapkan nama-nama yang Allah tetapkan dan Rasul-Nya tetapkan, kita pun tetapkan untuk Allah. Allah menetapkan sifat untuk diri-Nya, kita tetapkan itu ada sifat-Nya. Walaupun nama sifat itu kadang-kadang mirip dengan nama yang lain, tapi kita tetapkan. Allah mengatakan diri-Nya memiliki tangan:

مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

“Apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” (QS. Shad: 75).

Maka kita katakan Allah punya tangan tanpa diselewengkan maknanya atau dita’wil maknanya, tanpa kita menghilangkan sifat itu karena ingin mensucikan Allah, tanpa kita mendeskripsikan bagaimana tangannya Allah, tanpa kita miripkan dengan makhluk, tanpa kita memberikan perumpamaan. Tetapi kita tetapkan seperti apa yang ditetapkan-Nya. Insyaallah nanti akan kita ambil dalil tentang tauhid masing-masing ini.

Dasar Pembagian Tauhid

Dari mana ditemukan pembagian tauhid ini? Kok bisa-bisanya membagi tauhid menjadi tiga? Ini didapat secara analisis (istiqra’). Dilihat Al-Qur’an dan hadis, ternyata ada ayat Al-Qur’an bercerita tentang perbuatan Allah, ada Al-Qur’an bercerita tentang ibadah kepada Allah, dan Al-Qur’an bercerita tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah. Hampir banyak ayat ditutup dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ini adalah komponen-komponen yang dikumpulkan. Maka ini namanya اسْتِقْرَاء (penelusuran/induksi), karena dianalisa, dibaca, dan diteliti. Dilihat Al-Qur’an, maka Al-Qur’an menunjukkan bahwa tauhid itu terbagi kepada tiga.

Sebenarnya, dibagikan tiga atau dibagikan dua, itu tidak memberikan pengaruh kepada makna. Karena ada sebagian ulama yang membaginya menjadi dua bagian saja, yaitu:

  1. تَوْحِيدُ الْمَعْرِفَةِ وَالْإِثْبَاتِ (Tauhid Ma’rifah wal Itsbat)
  2. تَوْحِيدُ الْإِرَادَةِ وَالطَّلَبِ (Tauhid Iradah wath Thalab)

Coba kita lihat Tauhid Ma’rifah. Apa arti ma’rifah? Pengetahuan. Apa pengetahuan kita? Pengetahuan kita tentang perbuatan Allah. Karena kita tahu, lalu kita tetapkan dan kita yakinkan bahwa Allah Esa di dalam perbuatan-perbuatan yang sudah kita sebutkan tadi. Tidak ada yang ikut serta di dalamnya. Itsbat apa? Itsbat artinya menetapkan, yaitu menetapkan nama-nama dan sifat Allah yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebut dan yang telah disebutkan oleh Rasul-Nya. Maka pembagian bagi orang yang membagi dua tauhid, الْمَعْرِفَةُ وَالْإِثْبَاتُ itu sudah mencakup dua bagian dari pembagian tiga tadi, yaitu Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma wa Sifat.

Tauhid yang kedua apa? تَوْحِيدُ الْإِرَادَةِ وَالطَّلَبِ. Iradah itu apa? Keinginan. Thalab itu apa? Permohonan. Dari mana datangnya keinginan dan permohonan? Dari manusia. Manusia ingin beribadah, manusia memohon atau meminta. Maka keinginannya hendaklah dia tujukan hanya kepada Yang Satu. Permohonannya hendaklah dia mintakan kepada Yang Satu. Maka inilah nama lain dari Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah. Jadi kalau mau dibagi dua, itu bagiannya.

Ada lagi orang yang membagi empat: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, Tauhid Asma wa Sifat, dan تَوْحِيدُ الْحَاكِمِيَّةِ (Tauhid Hakimiyah). Katanya Hakimiyah ini apa maksudnya? Bahwasanya tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Baik, ini ke mana kembalinya? Sebenarnya kembali kepada tauhid juga, kembali kepada Tauhid Rububiyah (kekuasaan Allah mengatur hukum). Begitu juga ulama ada yang mengatakan bahwa Tauhid Asma wa Sifat ini kembali lagi kepada Tauhid Rububiyah. Nah, jadi kalau dibagi dua dia menjadi Tauhid Ma’rifah wal Itsbat dan yang keduanya adalah Tauhid al-Iradah wath Thalab.

Dalil-Dalil Tauhid dalam Al-Qur’an

Mentauhidkan Allah di dalam Rububiyah, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan di dalam Al-Qur’an dengan banyak ayat. Di antaranya adalah Surah Az-Zukhruf ayat 87:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan mereka, pasti mereka akan menjawab: Allah.”

Tidak ada yang menciptakan sampai orang Barat yang mengatakan dia tidak percaya dengan Tuhan, pasti pada satu titik tertentu dia akan menyerah kepada kekuasaan Tuhan dan mengatakan Tuhan itu ada.

Dalam Surah Yunus ayat 31, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi kita untuk mengatakan kepada orang-orang Quraisy:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah (Muhammad): Siapa yang memberimu rezeki dari langit dan bumi? Atau siapa yang memiliki pendengaran dan penglihatan? Dan siapa yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati?”

Kita makhluk hidup berawal dari makhluk mati (sperma/tanah). وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ, “Dan siapa yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup?” Yakni hidup dulu, baru dia mati. وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ, “Dan siapa yang mengatur urusan ini?”

Ditanyakan, Allah menyuruh Nabi kita Muhammad untuk menanyakan kepada orang-orang Quraisy. فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ, “Maka mereka akan mengatakan: Allah.” Jadi pengakuan mereka bahwa Allah yang memberi rezeki mereka dari langit dan bumi, Allah yang memiliki pendengaran dan penglihatan, Allah yang mengatur semuanya.

Lalu jika mereka sudah mengakui itu, أَفَلَا تَتَّقُونَ, “Apakah kalian tidak takut? Tidakkah kalian bertakwa?” Yakni takut. Takwa di sini apa? Mentaati-Nya, mengibadati-Nya. Kalau sudah mengetahui bahwa Allah yang menciptakan, Allah Maha Pemberi Rezeki, kenapa minta rezeki kepada yang lain lagi? Ya, Allah yang memiliki pendengaran dan penglihatan, kenapa meminta kepada yang lain? Allah mengatur jagat raya ini semua, kenapa mintanya kepada yang lain? أَفَلَا تَتَّقُونَ?

Ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengakui pengetahuan ini. Ya, pengetahuannya tauhid, ternyata tauhid. Tauhid ma’rifah. Dia mentauhidkan Allah dalam masalah yang menciptakan itu adalah Allah. Iya, mereka mengakui itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi mereka tidak menjalankan yang kedua, yaitu tidak mentaati-Nya (Tauhid Uluhiyah).

Adapun dalil Tauhid Uluhiyah dalam Al-Qur’an juga banyak, di antaranya Surah Muhammad ayat 19:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadati kecuali Allah, dan mohonlah ampunan untuk dosamu.”

Yakni tidak ada yang berhak untuk diibadati kecuali Allah. Ini mengesakan Allah dalam uluhiyah atau ibadah.

Surah An-Nahl ayat 36:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.”

الطَّاغُوت (Thaghut) yaitu sesuatu yang diibadati selain Allah.

Dalam Surah Al-Anbiya ayat 25:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak diibadati) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.”

Ini adalah dalil-dalil tentang Tauhid Uluhiyah, bahwa penghambaan diri kita, seluruh ibadah kita hanya kita berikan kepada Allah semata, tidak kepada yang lain.

Adapun Tauhid Asma wa Sifat, yang mana tadi makna Tauhid Asma wa Sifat adalah menetapkan apa yang telah Allah tetapkan atau Rasul-Nya tetapkan tanpa kita ta’wil, tanpa penyelewengan, tanpa menghilangkan, tanpa mendeskripsikan, dan seterusnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Asy-Syura ayat 11:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Tidak ada satu pun yang seperti-Nya. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ, tidak ada satu pun yang setara atau menyerupai-Nya. Lalu apakah begitu saja? Tidak. وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ, “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Maka kaidah dalam Asma wa Sifat ini adalah:

إِثْبَاتٌ بِلَا تَشْبِيهٍ، وَتَنْزِيهٌ بِلَا تَعْطِيلٍ

“Kita menetapkan sifat tidak dengan menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan makhluk), kita tetapkan وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat).”6

Dalam Surah Al-Insan ayat 2, Allah berfirman:7

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِ8يعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.”

Manusia itu Kami jadikan baginya سَمِيعًا (bisa mendengar), بَصِيرًا (bisa melihat). Allah السَّمِيعُ الْبَصِيرُ, sama-sama kata-katanya sama. Tapi apakah mendengar dan melihatnya Allah sama dengan mendengar dan melihatnya manusia? Tidak. Kita tetapkan sifat Mendengar dan Melihat untuk Allah. Dalam menetapkannya tidak mengharuskan kita menyerupakan dengan makhluk. Kita tetapkan tapi tidak boleh diserupakan, بِلَا تَمْثِيلٍ وَبِلَا تَشْبِيهٍ.

Lalu لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya), berarti itu kita تَنْزِيه (sucikan) Allah dari penyeurpaan dari makhluk. Tanpa تَعْطِيل (tanpa menghilangkan sifat). Ya, Allah katakan لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ, Allah hilangkan penyerupaan dengan makhluk, Allah sucikan diri-Nya dari penyerupaan makhluk, lalu Allah tetapkan وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.

Jadi kaidahnya adalah:

نَفْيٌ بِلَا تَعْطِيلٍ وَإِثْبَاتٌ بِلَا تَشْبِيهٍ

“Menafikan/mensucikan tanpa harus menghilangkan sifat itu, dan menetapkan tanpa harus menyerupakan dengan makhluk.” Itu adalah kaidah yang utama di dalam Asma wa Sifat.

Urgensi dan Hubungan Antar Tauhid

Mengakui akan Tauhid Rububiyah saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang masuk dalam Islam. Pengakuannya bahwasanya Allah menciptakan, Allah memberi rezeki, Allah mengatur semuanya, belum cukup menjadikan dia sebagai seorang Muslim. Seandainya ada seorang Nasrani datang ke rumah kita, dia bilang, “Saya yakin Allah itu menciptakan kita, yakin Allah memberi rezeki, saya yakin Allah yang menciptakan dan mengatur semuanya.” Ah, bagaimana? Apakah dia sudah Muslim? Belum. Jangan datang begitu, “Eh, hebat si Fulan, keyakinannya mirip saja, Wak.” Ya.

Di dalam pengakuannya tentang perbuatan Allah itu belum bisa menjadikan dia sebagai seorang Muslim. Orang-orang kafir Quraisy yang diperangi oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dihalalkan darah mereka dan harta mereka oleh Rasulullah, mereka adalah orang yang mengakui Tauhid Rububiyah. Tetap Nabi perangi, tetap Nabi halalkan darah mereka, harta mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka belum masuk Islam.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadati kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.”

Jika mereka mengatakannya, عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ, “Maka terjagalah harta mereka, darah mereka dariku kecuali dengan hak Islam.” Dan perhitungannya diserahkan kepada Allah. Dalam sebuah hadis yang lain, ada penambahan:

فَإِذَا قَالُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَكَفَرُوا بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ

Atau redaksi lain yang menyebutkan menegakkan salat dan menunaikan zakat. Kalau mereka melakukan itu, maka terjagalah darah mereka dan harta mereka dariku kecuali hak Islam, dan perhitungannya dikembalikan kepada Allah.

Jadi orang-orang kafir Quraisy, mereka adalah orang-orang yang mengakui akan Tauhid Rububiyah. Namun sebenarnya pengakuan mereka itu belum rinci, masih dalam bentuk global. Dari ayat-ayat yang sudah kita sebutkan tadi, itu hanya sebatas keyakinan mereka bahwa Allah menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur semuanya, tapi konsekuensinya tidak mereka lakukan.

Maka perlu kita ketahui bahwa Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah itu, Rububiyah tadi apa? Perbuatan Allah. Uluhiyah adalah penghambaan diri kepada Allah. Antara Rububiyah dan Uluhiyah ini dia terkadang menyatu, terkadang terpisah. Kalau dia betul-betul meyakini dengan Tauhid Rububiyah, pasti dia melakukan Uluhiyah.

Kita azan dulu, setelah itu baru kita sambung.

(Suara Azan)

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ… لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Tadi kita sudah mengatakan bahwa Rububiyah dan Uluhiyah ini hampir sama mirip dengan makna iman dan Islam. Ketika disebutkan satu, maknanya sudah bergabung di dalamnya yang kedua. Ketika disebutkan kedua-duanya dalam satu redaksi, masing-masing memiliki makna yang berbeda. Sama dengan istilah fakir dan miskin. Yakni apabila kedua Rububiyah dan Uluhiyah disebutkan dalam satu redaksi, maka Rububiyah berhubungan dengan perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Uluhiyah berhubungan dengan ibadah manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi kalau seandainya disebutkannya satu, maka sudah mencakup makna yang lain.

Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

“Katakanlah (Muhammad): Aku berlindung kepada Rabb manusia.”

Rabb manusia, Pencipta, Pengatur. Maka Dialah Ilah yang disembah. Dia adalah Rabb yang menciptakan, Dialah Tuhan yang diibadati. Sebagaimana dikatakan رَبُّ الْعَالَمِينَ وَإِلَهُ الْمُرْسَلِينَ, “Rabb semesta alam dan Ilah (Tuhan) yang diibadati oleh para rasul yang diutus”. Dan Dia jugalah yang mencipta. Nah, itu ketika disebutkan satu Ilah atau Rabb, maka maknanya mencakup kedua-duanya: Rububiyah dan Uluhiyah.

Maka oleh karena itu, ketika dua malaikat bertanya kepada mayat dalam kubur, مَنْ رَبُّكَ؟ (“Siapa Rabb-mu?”), bukan pengetahuan yang ditanya pada saat itu, tapi maknanya مَنْ مَعْبُودُكَ؟ (“Siapa yang engkau ibadati?”). Pelaksanaannya, dia di dunia ketika dia mengetahui Allah yang menciptakannya, maka Allah-lah yang diibadatinya. Maka ketika ditanya رَبٌّ (Rabb) di situ, adalah siapa pencipta yang engkau ibadati. Jadi kedua-duanya ada, Rububiyah dan Uluhiyah.

Faedah Tauhid Rububiyah

Faedah-faedah dalam Tauhid Rububiyah:

Yang pertama, bukti-bukti tauhid atau bukti-bukti rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tanda-tandanya sangat banyak sekali. Di setiap diri manusia.

وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21).

Melihat apa? Melihat keagungan Allah tentang Rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah juga mengatakan dalam Surah Fussilat ayat 53:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.”

Melihat orang-orang luar biasa mengetahui keagungan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam diri manusia, seperti dalam ilmu kedokteran. Tapi Subhanallah, karena iman tidak ada, hal itu tidak menjadikan mereka lebih tunduk lagi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Yang kedua, Tauhid Uluhiyah telah mengandung di dalamnya Tauhid Rububiyah, dan Tauhid Rububiyah mengharuskan seseorang bertauhid Uluhiyah. Apa maksudnya? Ketika seseorang mengibadati Allah semata, ketika seorang berdoa kepada Allah, “Ya Allah, tolong aku,” di dalam dia memohon kepada Allah untuk menolongnya dari kesusahan dan kesulitan, di situ sudah ada Tauhid Rububiyah. Bahwa dia mengakui dan mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala-galanya. Ketika dia hanya memberikan doanya hanya kepada Allah, itu adalah Tauhid Uluhiyah. Di dalamnya sudah mencakup keyakinannya tentang Tauhid Rububiyah.

Dan Tauhid Rububiyah menuntut orang yang meyakini Tauhid Rububiyah untuk melakukan Tauhid Uluhiyah. Tadi ketika Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada orang Quraisy, قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ… dan seterusnya, ditutup dengan apa? Mereka mengatakan فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ (mereka akan mengatakan Allah), lalu dituntut أَفَلَا تَتَّقُونَ? Kenapa kalian tidak bertakwa? Kenapa kalian tidak mengibadati-Nya? Pengetahuan kalian ini menuntut kalian harus beribadah kepada-Nya.

Maka oleh karena itu ulama mengatakan bahwa لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ itu adalah dalil untuk ketiga jenis tauhid: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma wa Sifat. لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (Tidak ada yang berhak diibadati kecuali Allah), ini adalah dalil yang jelas-jelasnya Tauhid Uluhiyah. Lalu dari mana kita bisa mengetahui Rububiyah? Di situ juga ada Tauhid Rububiyah secara kandungan. Ketika orang hanya mengibadati Allah semata, maka di situ sudah ada Tauhid Rububiyah, karena Allah menciptakan, Allah mengatur, Allah menghidupkan, mematikan dan seterusnya. Tapi Tauhid Asma wa Sifat mana? Ada lafaz اللَّهُ. Allah adalah nama Allah yang paling diketahui (أَعْرَفُ الْمَعَارِفِ), yang paling dikenal, dan itu adalah nama yang paling agung.

Kemudian yang berhubungan dengan tauhid tadi juga, bahwa para rasul mereka mengajak, konsentrasinya kepada Tauhid Uluhiyah. Kenapa tidak konsentrasi dengan Tauhid Rububiyah? Karena Tauhid Rububiyah ya sudah ikut. Ketika mengajak kepada Tauhid Uluhiyah, di dalamnya sudah ada Tauhid Rububiyah.

Urgensi Tauhid Rububiyah

Apa urgensi dari Tauhid Rububiyah? Bahwa Tauhid Rububiyah berkonsekuensi bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang dimohon. Ketika orang kita mengatakan إِيَّاكَ نَعْبُدُ (Hanya kepada Engkau kami beribadah), وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (Hanya kepada Engkau kami minta tolong). Kenapa? Karena Tauhid Rububiyah. Allah Maha Kuasa, Allah Maha Memberi. Tidak ada satu pun yang menghalangi pemberian Allah dan tidak ada satu pun yang memberi yang dihalangi oleh Allah. Dia الْقَابِضُ الْبَاسِطُ (Yang Maha Menyempitkan dan Maha Melapangkan).

Maka ketika seorang betul-betul sudah mewujudkan Tauhid Rububiyah, itu menuntutnya bahwa Allah-lah yang dimohon, Allah-lah yang diseru, kepada-Nya-lah kita bertawakal. Masuk ke dalam takdir, masuk di dalam Tauhid Rububiyah adalah apa yang telah Allah takdirkan dan apa yang telah Allah putuskan. الْإِرَادَةُ الْكَوْنِيَّةُ (Iradah Kauniyah), keinginan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan ini dalam penciptaan alam adalah konsekuensi dari Tauhid Rububiyah. Apa yang kita alami, itu semuanya adalah konsekuensi dari Tauhid Rububiyah.

Di antara kesempurnaan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba adalah hamba hendaklah sering menghadirkan di dalam pikirannya kedua jenis tauhid tadi: Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Ketika saat dia berzikir kepada Allah, ketika dia berdoa, hendaklah selalu dia berupaya menghadirkan dalam pikirannya dan dalam hatinya dua tauhid tadi. Dihadirkan Tauhid Uluhiyah agar dia hanya mengibadati Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dia hadirkan Tauhid Rububiyah agar semakin kuat ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena sebagian dari orang ada yang hanya dari satu sisi saja, tidak dihadirkan kepada pikirannya dan dalam hatinya pada saat dia beribadah, saat dia memohon, pada saat dia berzikir, tidak dihadirkan kedua-dua jenis tersebut.

Kemudian رُبُوبِيَّةُ اللَّهِ (Rububiyah Allah) terbagi menjadi dua:

  1. عَامَّةٌ (Bersifat umum)
  2. خَاصَّةٌ (Bersifat khusus)

Rububiyah yang dimaksud di sini maknanya boleh jadi penjagaan, penciptaan, pemeliharaan. Perbuatan Allah semuanya itu ada yang bersifat umum, meliputi seluruh makhluk, baik yang taat maupun yang membangkang, baik yang telah diberikan taklif (pembebanan) yang telah baligh atau yang belum baligh, sampai-sampai terhadap makhluk mati atau benda mati. Ya, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Esa. Dialah yang menciptakan, memberi rezeki, mengatur, memberi orang yang sedang terdesak. Sampai orang kafir ketika dia berdoa, diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kelapangan. Ini adalah Rububiyah umum (عَامَّةٌ), memberikan manfaat pada setiap orang. Orang kafir berdoa kepada Allah memohon kepada Allah, hajatnya juga terpenuhi, dilapangkan oleh Allah. Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi semuanya.

Tauhid Rububiyah yang khusus (خَاصَّةٌ) adalah perhatian dan pemeliharaan yang khusus hanya kepada orang-orang pilihan, para wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah memelihara mereka dengan iman yang sempurna, diberikan taufik kepada mereka untuk menyempurnakan keimanannya, sempurnakan mereka dengan akhlak yang sempurna, dijauhkan mereka dari akhlak yang jelek. Ini adalah tarbiah atau Rububiyah perhatian Allah Subhanahu wa Ta’ala secara khusus. Allah kukuhkan dia di atas imannya, Dia selamatkan dia dari hal-hal yang tidak diinginkan. Diberikan taufik untuk kebaikan, dijaga dia dari segala keburukan. Dan ini adalah bentuk Rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala secara khusus.

Syirik dalam Rububiyah

Lalu apa makna dari syirik di dalam kerububiahan? Syirik dalam Rububiyah adalah:

أَنْ يُثْبِتَ فَاعِلًا مُسْتَقِلًّا غَيْرَ اللَّهِ

“Menetapkan pelaku yang berdiri sendiri lepas dari Allah.”

Maka di sini dia menjadi mempersekutukan Allah. Seperti orang yang menjadikan atau meyakini hewan-hewan melakukan tindakan sendiri tanpa dipengaruhi oleh Allah, tanpa diperintahkan oleh Allah. Atau karena yang lain, seperti bintang-bintang. Makanya dalam hadis dikatakan di antara manusia ini ada yang pagi dia beriman, ada yang kafir. Yang beriman mengatakan مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ (“Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah”). Tapi yang kafir mengatakan مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا (“Kita dihujani oleh bintang ini dan itu”). Gara-gara bintang itu muncul malam tadi itulah hujan. Seakan-akan bintang itu yang sendirinya mendatangkan hujan.

Nah, ini jatuh kepada syirik di dalam Rububiyah. Termasuk orang yang meyakini pawang hujan yang bisa menggeser awan, yang bisa menggeser hujan. Karena dalam hal itu dia meyakini adanya keikutsertaan pawang itu di dalam mengatur jagat raya yang lepas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka di situ jatuh kepada syirik di Rububiyah.

Kembali ke Hadis: Hak Allah dan Hak Hamba

Dari sisi yang kedua tadi sudah kita sebutkan bahwa hak dari hamba, atau hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus ditunaikan oleh hamba yaitu أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا (Hendaklah dia mengibadati Allah dan tidak mempersekutukan-Nya). Dalam hal apa? Tentu uluhiyah di sini, yaitu penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mempersekutukan-Nya. Insyaallah nanti akan kita bahas tentang jenis-jenis syirik.

Yang kedua adalah hak hamba yang akan ditunaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا (Yaitu Allah tidak akan mengazab orang yang tidak mempersekutukan sesuatu apa pun juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Dalam hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat bahwa tidak ada satu pun yang mewajibkan kepada Allah. Tidak ada yang bisa mewajibkan kepada Allah, kecuali apa yang Allah wajibkan oleh-Nya untuk diri-Nya sendiri. Dan begitu juga tidak ada satu pun yang bisa mengharamkan kepada Allah, kecuali apa yang Allah haramkan untuk diri-Nya sendiri.

Nah, termasuk dalam hadis ini Allah mewajibkan atas diri-Nya untuk tidak mengazab orang-orang yang bertauhid yang tidak mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah mewajibkan terhadap diri-Nya. Bukan manusia yang mewajibkan, bukan peraturan yang mewajibkan, akan tetapi Allah mewajibkan pada diri-Nya sendiri. تَفَضُّلًا مِنْهُ (Sebagai bentuk anugerah dan kasih sayang yang Allah berikan) dari-Nya kepada hamba-Nya. Karena tidak ada yang mewajibkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana tidak ada satu pun yang bisa mengharamkan kepada Allah kecuali Allah sendiri yang mengharamkan terhadap diri-Nya.

Sebagaimana ada dalam hadis Abi Dzar, bahwasanya Allah telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya:

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku telah jadikan kezaliman itu sesuatu yang diharamkan di tengah-tengah kalian. Maka jangan kalian saling menzalimi.”

Siapa yang mengharamkan? Allah sendiri. Menzalimi tidak boleh, karena kezaliman itu meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Itu kezaliman.

Di dalam hal ini terdapat dua kelompok yang menyelisihi Ahlus Sunnah:

  1. الْمُعْتَزِلَة (Mu’tazilah): Mereka mengharuskan kepada Allah hal-hal tertentu menurut akal mereka. Sebagaimana mereka mengatakan, يَجِبُ عَلَى اللَّهِ فِعْلُ الْأَصْلَحِ لِلْعِبَادِ (Wajib kepada Allah untuk melakukan perbuatan yang baik untuk makhluk-Nya). Diwajibkan oleh akal mereka. Allah wajib melakukan begini, begini, begini. Enggak ada yang mewajibkan kecuali apa yang diwajibkan oleh Allah untuk diri-Nya. Maka mereka mengkiaskan Rabb kepada makhluk. Makhluk diwajibkan oleh yang lain untuk melakukan begini, “Anda sebagai anu harus begini, begini.” Jadi orang Mu’tazilah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mencipta, maka mereka wajibkan dengan akal mereka begini, begini. Padahal tidak ada satu pun yang mewajibkan kepada Allah kecuali Allah sendiri untuk diri-Nya.
  2. الْأَشَاعِرَة (Asy’ariyah): Kelompok yang kedua adalah mereka yang mengatakan لَا يَجِبُ عَلَى اللَّهِ فِعْلُ شَيْءٍ وَلَا يَحْرُمُ عَلَى اللَّهِ فِعْلُ شَيْءٍ. Lawan dari yang tadi. Bahwa tidak ada yang wajib atas Allah untuk melakukan sesuatu, dan tidak ada yang haram atas Allah perbuatan sesuatu.

Tapi kita sudah mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah, apa yang diwajibkan oleh Allah untuk diri-Nya itulah yang wajib dilakukan oleh Allah تَفَضُّلًا مِنْهُ (sebagai anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), dan Allah mengharamkan sesuatu terhadap diri-Nya karena kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan keharusan yang harus dilakukan (oleh pihak luar).

Maka oleh karena itu, orang yang paling berbahagia dengan hadis ini adalah Ahlus Sunnah, yang mereka menjalankan amalan-amalan itu sesuai dengan nas-nas yang ada. Alhamdulillah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kepada kita taufik untuk selalu berupaya mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti dalil-dalil, sehingga ini adalah manusia yang paling berbahagia. Kita selalu mengikuti aturan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Allah juga mengatakan:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”

Wallahu Ta’ala A’lam. Mudah-mudahan apa yang kita pelajari pada malam ini bermanfaat bagi kita, menambah pengetahuan kita yang memberikan dampak kepada menambah keimanan kita. Wallahu Ta’ala A’lam.

Kita cukupkan sampai di sini. Semoga bermanfaat.

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.


74