Syarah Shahih Muslim

Penjelasan Hadits Mengenai Nama dan Kunyah Nabi Muhammad ﷺ serta Penamaan


Hadits Pertama: Nabi ﷺ sebagai Pembagi (Qasim)

Dalam sebuah riwayat dari Abu Bakar disebutkan:
وَلَا تَكْتَنُوا – Janganlah kalian membuat gelar kunyah.

Diriwayatkan dari Abu Quraib Muhammad ibnu Ala, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dari al-A’masy dengan sanad yang sama, dan ia (Nabi ﷺ) bersabda: إِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ أَقْسِمُ بَيْنَكُمْ Sesungguhnya aku hanyalah pembagi yang membagi di antara kalian).

Hadits Kedua: Larangan Menggunakan Kunyah Nabi ﷺ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Mutsanna dan Muhammad ibn Basyar, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salim, dari Jabir bin Abdillah, ia mengatakan:

“Ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang dikaruniai anak laki-laki, lalu ia hendak menamainya Muhammad. Kemudian ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya kepada beliau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : أَحْسَنَتِ الْأَنْصَارُ. سَمُّوا بِاسْمِي وَلَا تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي Orang Anshar itu telah berbuat baik. Gunakanlah namaku (untuk menamai anak kalian), tetapi jangan menggunakan kunyahku).”

Hadits Ketiga: Variasi Lafaz Mengenai Peran Nabi ﷺ sebagai Pembagi

(Imam Muslim melanjutkan dengan menyebutkan beberapa jalur sanad lain dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, melalui perawi seperti Manshur, Husain bin Abdurrahman, Sulaiman, dan Qatadah, yang semuanya mendengar dari Salim bin Abi Ja’d, dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang menguatkan hadits ini).

Imam Muslim mencantumkan jalur-jalur yang banyak ini untuk menjelaskan berbagai sanad hadits tersebut dan adanya sedikit perbedaan lafaz. Dalam satu riwayat (melalui jalur Husain dan Sulaiman) disebutkan Nabi ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ قَاسِمًا أَقْسِمُ بَيْنَكُمْ Sesungguhnya aku diutus sebagai pembagi, yang aku membagi di antara kalian.

Sedangkan dalam riwayat Sulaiman (secara terpisah), lafaznya adalah: wa qāla Sulaimān, wa innamā anā qāsimun aqsimu bainakum (Dan Sulaiman berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah pembagi, yang aku membagi di antara kalian’).

Penjelasan Mengenai Kunyah

Maka, sebagaimana keterangan yang telah kita pelajari sebelumnya, kunyah (nama panggilan yang diawali dengan Abu/Ummu/Ibnu/Ibna) bisa berasal dari:

  1. Sifat atau tugas seseorang (misalnya, Nabi ﷺ disebut Abu al-Qasim karena tugasnya membagi).
  2. Nama anaknya (misalnya, Abu Fulan karena anaknya bernama Fulan).

Kunyah bisa didasarkan pada sifat yang melekat pada diri seseorang atau nama dari salah satu anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Kunyah biasanya diawali dengan kata Abū (bapak dari…), Ummu (ibu dari…), Ibnu (anak laki-laki dari…), atau Ibnatu (anak perempuan dari…).

Hadits Keempat: Mengganti Nama Anak dari Qasim menjadi Abdurrahman

Telah menceritakan kepada kami Amr An-Naqid dan Muhammad bin Abdillah ibni Numair, semuanya dari Sufyan. Amr berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnul Munkadir, bahwasanya ia mendengar Jabir bin Abdillah berkata:

“Seorang laki-laki di antara kami dikaruniai anak laki-laki, lalu ia menamainya Al-Qasim. Maka kami (para sahabat) berkata kepadanya, لَا نُكَنِّيكَ أَبَا الْقَاسِمِ وَلَا نُنْعِمُكَ عَيْنًا Kami tidak akan memberimu kunyah Abu al-Qasim dan kami tidak akan membuatmu senang/nyaman dengannya. Lalu orang itu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal tersebut. Maka beliau bersabda, سَمِّ ابْنَكَ عَبْدَ الرَّحْمَـٰنِ Namailah anakmu Abdurrahman.”

Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyarankannya mengganti nama anaknya dari Al-Qasim menjadi Abdurrahman, karena jika anaknya bernama Al-Qasim, otomatis ayahnya akan dipanggil dengan kunyah Abu al-Qasim, dan kunyah tersebut khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (sehingga dilarang untuk digunakan umatnya).

Hadits Kelima: Penamaan dengan Nama Nabi dan Orang Saleh Terdahulu (Kasus Maryam dan Harun)

Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata:

“Ketika aku datang ke Najran, mereka (penduduk Najran) bertanya kepadaku. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kalian (umat Islam) membaca (dalam Al-Qur’an) يَا أُخْتَ هَارُونَ (Wahai saudara perempuan Harun) [QS. Maryam: 28], padahal (Nabi) Musa hidup sebelum (Nabi) Isa dalam jarak waktu yang sangat lama ( مُوسَىٰ قَبْلَ عِيسَىٰ بِكَذَا وَكَذَا )?'” (Mereka mempertanyakan mengapa Maryam disebut saudara perempuan Harun, padahal Nabi Harun saudara Nabi Musa hidup jauh sebelum Maryam).

“Ketika aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku menanyakan hal itu kepada beliau. Maka beliau bersabda,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَمُّونَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِينَ قَبْلَهُمْ
Sesungguhnya mereka (Bani Israil) dahulu suka memberi nama dengan nama-nama nabi mereka dan orang-orang saleh sebelum mereka.”

Penjelasan Imam An-Nawawi dan Hukum Penamaan

Imam An-Nawawi mengomentari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Bani Israil, إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَمُّونَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِينَ قَبْلَهُمْ. Beliau berkata:

“Sekelompok ulama berdalil dengan hadits ini (istadalla bihi jamāʿatun) mengenai bolehnya memberi nama dengan nama-nama para nabi (ʿalā jawāz at-tasmiyah bi asmāʾ al-anbiyāʾ ʿalayhimussalām). Ini adalah kesepakatan para ulama (wa ajmaʿa ʿalayhil-ʿulamāʾ), kecuali riwayat yang telah kami sebutkan sebelumnya dari Umar bin Khattab (yang melarang nama Muhammad karena khawatir disalahgunakan atau diejek, sebagai bentuk penghormatan terhadap nama Nabi). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menamai putranya Ibrahim وَقَدْ سَمَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَهُ إِبْرَاهِيمَ , dan di kalangan sahabat beliau, banyak yang bernama dengan nama-nama nabi وَكَانَ فِي أَصْحَابِهِ خَلْقٌ مُسَمَّوْنَ بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ.”

Al-Qadhi (Iyadh) berkata: “Sebagian ulama memakruhkan وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ memberi nama dengan nama-nama malaikat التَّسْمِيَةَ بِأَسْمَاءِ الْمَلَائِكَةِ, seperti Jibril, Mikail, Israfil. Ini adalah pendapat Al-Harits ibn Miskinوَهُوَ قَوْلُ الْحَارِثِ بْنِ مِسْكِينٍ. Imam Malik juga memakruhkan (wa kariha Mālikun) penamaan dengan Jibril dan Yasin.”

Nasihat Tambahan Mengenai Pemberian Nama

  • Boleh memberi nama dengan nama-nama orang saleh atau nama-nama sahabat.
  • Nama adalah bagian dari doa. Memanggil dengan nama yang baik (Hasan, Husain, Muhammad, Ahmad) adalah doa. Panggillah dengan nama yang benar, jangan disingkat atau diubah hingga kehilangan makna.
  • Sebaiknya nama anak cukup satu kata yang bermakna, diikuti nama ayahnya (nasab), lalu mungkin nama kakeknya. Hindari nama yang terlalu panjang (tiga atau empat kata) jika nama panggilan sehari-hari berbeda jauh atau tidak ada kaitannya, sehingga nama lengkap hanya formalitas administrasi.
  • Orang Arab terkadang menamai anak laki-laki pertama dengan nama kakeknya atau anak perempuan pertama dengan nama neneknya sebagai cara memuliakan dan ‘menghidupkan’ nama orang tua/leluhur. Ini adalah bentuk bakti.
  • Berilah anak nama yang baik dan panggillah dengan baik. Struktur nama yang ideal: [Nama Anak] bin/binti [Nama Ayah] bin [Nama Kakek], untuk kejelasan nasab.
  • Selama nama tersebut bukan nama yang dilarang (seperti nama sesembahan kaum musyrikin atau bermakna buruk), maka boleh digunakan. Jangan merasa tidak bangga mencantumkan nama ayah di belakang nama anak sebagai penanda nasab.
  • Yang keliru adalah mencantumkan nama suami di belakang nama istri; seharusnya yang dicantumkan adalah nama ayah dari istri tersebut.

Wallahu ta’ala a’lam. Mudah-mudahan bermanfaat. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Via
Youtube

Related Articles

Back to top button