Al Mulakhos Al Fiqhi Syaikh Salih Al-Fawzan

Bab Persyaratan dalam Pernikahan.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah سبحانه وتعالى. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم beserta keluarga dan para sahabatnya.

Kita masuk ke Bab Persyaratan dalam Pernikahan (فِي الشُّرُوطِ فِي النِّكَاحِ).

Persyaratan dalam Pernikahan

Apakah boleh ada syarat tertentu dalam pernikahan, baik dari pihak laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya?

Syarat dalam Nikah (الْشُّرُوطُ فِي النِّكَاحِ) adalah persyaratan yang diajukan oleh salah satu pihak (suami atau istri) dalam akad nikah, yang di dalamnya terdapat kemaslahatan (manfaat). Syarat ini bisa disepakati saat akad atau disepakati sebelumnya. Syarat dalam pernikahan terbagi menjadi dua: syarat yang sah dan syarat yang tidak sah (rusak).

1. Syarat yang Sah dalam Pernikahan (اَلشُّرُوطُ الصَّحِيْحَةُ فِي النِّكَاحِ)

Di antara syarat-syarat yang sah dalam pernikahan menurut kebanyakan ulama adalah:

  • Mensyaratkan Talak Madu:
    • Jika seorang laki-laki yang sudah beristri melamar seorang gadis atau janda, dan si wanita mensyaratkan agar madunya ditalak terlebih dahulu, maka syarat ini sah menurut kebanyakan ulama. Ini karena ada faedah (manfaat) bagi perempuan tersebut.
    • Namun, sebagian ulama lain berpendapat syarat ini tidak sah, berdasarkan hadis Nabi صلى الله عليه وسلم yang melarang wanita meminta suaminya mentalak madunya agar jatah (piring) madunya menjadi miliknya sendirian. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Janganlah wanita itu meminta suaminya mentalak madunya agar ia dapat menguasai seluruh piring madunya, karena sesungguhnya baginya apa yang telah ditakdirkan Allah untuknya.” Ini mengajarkan bahwa setiap orang sudah memiliki takdir dan jatahnya masing-masing.
  • Mensyaratkan Tidak Dipoligami:
    • Jika wanita mensyaratkan agar tidak digabungkan dengan budak (dulu) atau mensyaratkan agar tidak dipoligami (tidak dimadu) sejak awal pernikahan atau saat akad, maka syarat ini sah.
    • Jika suami memenuhi syarat tersebut, pernikahan berlanjut. Namun, jika suami melanggarnya, maka istri berhak membatalkan pernikahan.
    • Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Hak yang paling berhak kalian tunaikan adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan.” Ini menekankan pentingnya menepati janji dalam pernikahan.
  • Mensyaratkan Tidak Dikeluarkan dari Rumah/Kampung:
    • Jika wanita mensyaratkan untuk tidak dikeluarkan dari rumahnya atau dari kampungnya, syarat ini sah. Suami tidak berhak mengeluarkannya kecuali dengan izin istri. Misalnya, istri ingin tetap tinggal di rumahnya karena merawat ibu yang sendirian, atau ingin tetap di kampung halamannya.
  • Mensyaratkan Tidak Dipisah dengan Anak/Orang Tua:
    • Jika wanita mensyaratkan untuk tidak dipisah dengan anak-anaknya (jika ia sudah punya anak) atau dengan orang tuanya, syarat ini sah. Jika suami melanggar, istri berhak membatalkan pernikahan.
  • Mensyaratkan Tambahan Mahar atau Jenis Mahar Tertentu:
    • Jika wanita mensyaratkan tambahan mahar atau mahar dari mata uang tertentu, syarat ini sah dan mengikat suami. Suami wajib menunaikannya. Jika tidak terpenuhi, istri berhak membatalkan pernikahan.

Hak Pembatalan (Khiyar) dalam Syarat yang Sah:

Pilihan bagi istri untuk membatalkan pernikahan jika syarat tidak terpenuhi adalah dalam tempo yang panjang, tidak harus segera dibatalkan. Misalnya, jika syarat untuk melanjutkan kuliah tidak terpenuhi, istri berhak membatalkan kapan saja ia mau, selama tidak ada indikasi bahwa ia telah rida terhadap pelanggaran syarat tersebut. Jika istri tahu suami melanggar dan ia rida atau tidak menuntut, maka hak khiyar-nya gugur.

Umar bin Khattab رضي الله عنه pernah berkata: “Keputusan hak ini adalah sesuai dengan syarat.” Ibnu Qayyim menambahkan bahwa wajib menunaikan syarat-syarat ini karena ia adalah syarat yang paling berhak ditunaikan. Ini merupakan konsekuensi syariat, akal, dan analogi yang benar, karena wanita tidak akan rida menyerahkan dirinya kecuali dengan dipenuhinya syarat tersebut.

2. Syarat yang Tidak Sah dalam Pernikahan (اَلشُّرُوطُ الْفَاسِدَةُ فِي النِّكَاحِ)

Syarat yang tidak sah dalam pernikahan ada dua jenis:

a. Syarat yang Membatalkan Pernikahan (Syarat Fasidah Tubtilul ‘Aqda – شُرُوطٌ فَاسِدَةٌ تُبْطِلُ الْعَقْدَ)

Ada tiga jenis nikah yang batal karena syarat ini:

  • Nikah Syighar (نِكَاحُ الشِّغَارِ):
    • Yaitu seseorang menikahkan wanita di bawah tanggungannya dengan syarat pihak lain juga menikahkan wanita di bawah tanggungannya kepadanya, tanpa ada mahar di antara mereka. Contoh: “Saya nikahkan adik saya dengan Anda, dengan syarat Anda nikahkan kakak Anda dengan saya, tanpa mahar.”
    • Dinamakan “syighar” karena berasal dari kata “syhur” (tanpa imbalan/mahar). Ada juga yang mengaitkannya dengan “syagaral kalbu” (anjing mengangkat kaki untuk kencing), menunjukkan kekejiannya.
    • Pernikahan ini adalah batil dan wajib dipisahkan. Nabi صلى الله عليه وسلم melarang nikah syighar.
    • Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Allah mengharamkan syighar karena wali wajib menikahkan wanita di bawah tanggungannya demi kemaslahatan wanita itu, bukan untuk kepentingan pribadi wali atau sebagai transaksi tukar menukar kehormatan. Mahar adalah hak wanita, bukan hak wali.
    • Meskipun disebutkan mahar namun tujuannya adalah tukar menukar wanita, itu tetap tidak boleh (tipuan/hilah). Namun, jika ada mahar yang sempurna bagi masing-masing pihak dan kedua wanita setuju, maka itu bukan syighar dan sah, karena tidak ada kemudaratan.
  • Nikah Muhallil (نِكَاحُ الْمُحَلِّلِ):
    • Yaitu seorang laki-laki menikahi wanita yang telah ditalak tiga oleh suami pertamanya, dengan niat untuk menghalalkannya agar dapat kembali kepada suami pertamanya. Ini yang dikenal dengan istilah Nikah Cinobo.
    • Bentuk nikah ini adalah batal. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tidakkah kalian kuberitahu tentang kambing jantan pinjaman?” Para sahabat menjawab: “Betul, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Itu adalah muhallil.” Nabi صلى الله عليه وسلم melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi untuk menghalalkan) dan muhallal lahu (suami pertama yang dihalalkan istrinya kembali).
    • Agar halal kembali, wanita tersebut harus menikah secara normal dengan laki-laki lain, merasakan hubungan suami istri dengannya, lalu bercerai dan habis masa idahnya.
  • Nikah Mu’allaq (Nikah yang Dikaitkan dengan Syarat di Masa Depan):
    • Yaitu mengaitkan akad nikah dengan syarat yang akan datang. Contoh: “Saya nikahkan engkau apabila bulan depan datang,” atau “Saya nikahkan engkau jika ibunya rida.”
    • Nikah semacam ini tidak sah karena akad nikah adalah akad muawadah (timbal balik/jual beli) yang harus jelas dan tidak boleh digantungkan pada sesuatu yang belum pasti.
  • Nikah Mut’ah (نِكَاحُ الْمُتْعَةِ):
    • Yaitu nikah yang dibatasi waktu tertentu. Contoh: “Saya nikahkan engkau satu bulan,” atau “Saya nikahkan engkau sampai habis kontrakmu.”
    • Nikah bertempo ini hukumnya batal. Ini adalah nikah mut’ah.
    • Syekh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa riwayat-riwayat mutawatir sepakat bahwa Allah mengharamkan nikah mut’ah setelah sebelumnya pernah dihalalkan sesaat. Imam Qurtubi menyatakan ijmak ulama salaf dan khalaf atas keharamannya, kecuali sebagian kecil Rafidah.

b. Syarat yang Tidak Sah namun Tidak Merusak Pernikahan (Syarat Fasidah La Tufsidun Nikah – شُرُوطٌ فَاسِدَةٌ لَا تُفْسِدُ النِّكَاحَ)

Dalam kondisi ini, syaratnya batal atau tidak sah, tetapi pernikahan itu sendiri tetap sah.

  • Suami Mensyaratkan Gugurnya Hak Istri:
    • Contoh: Suami mensyaratkan tidak ada mahar, atau tidak memberi nafkah, atau memberi nafkah lebih sedikit dari jatah madunya.
    • Dalam kondisi ini, syaratnya batal (tidak sah) karena ia menggugurkan hak istri. Namun, pernikahannya tetap sah. Hak-hak istri tetap wajib dipenuhi meskipun suami mensyaratkan sebaliknya.
  • Istri Mensyaratkan Sesuatu yang Menggugurkan Haknya:
    • Contoh: Istri mengatakan, “Saya mau menikah dengan Anda, tapi tidak perlu diberi nafkah,” atau “Saya mau menikah dengan Anda, tapi boleh hanya bertemu sebulan sekali.”
    • Syarat ini dibolehkan karena istri menggugurkan haknya sendiri.
  • Syarat Kecantikan, Keperawanan, atau Nasab:
    • Jika pemuda mensyaratkan istrinya harus perawan, cantik, atau memiliki nasab tertentu, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (misalnya setelah terlihat tanpa riasan atau setelah diselidiki), maka laki-laki itu punya hak membatalkan pernikahan (fasakh) karena syaratnya tidak terpenuhi.
  • Syarat Status Kemerdekaan:
    • Jika laki-laki menikahi wanita yang ia sangka merdeka, ternyata budak. Jika laki-laki tersebut memang tidak boleh menikahi budak, maka pernikahan dipisah. Namun, jika ia termasuk yang boleh menikahi budak, maka ia punya hak pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan.
    • Jika perempuan menikahi laki-laki yang ia sangka merdeka, ternyata budak, maka ia punya hak pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan pernikahannya.
    • Jika seorang budak wanita yang sudah menikah dimerdekakan, ia memiliki hak pilihan untuk berpisah atau tetap melanjutkan pernikahannya dengan suaminya yang budak. Contohnya kisah Barirah yang memilih berpisah dengan suaminya setelah ia dimerdekakan.

Pertanyaan Tambahan:

  • Nikah Siri dan Status Anak:
    • Nikah siri jika maksudnya adalah nikah bawah tangan dengan rukun terpenuhi (ada wali, saksi, ijab kabul, mahar) namun tidak tercatat di KUA, maka nikahnya sah. Anak yang lahir dari pernikahan ini sah nasabnya kepada bapaknya.
    • Namun, jika nikah siri dimaksudkan tanpa wali atau nikah kontrak (mut’ah), maka nikahnya haram dan batal. Jika pasangan yang tidak mengetahui bahwa nikahnya batil dan mereka mengira sah, maka anak yang lahir bisa dinasabkan kepada bapaknya. Namun, jika mereka mengetahui akadnya batil, anak dinasabkan kepada ibunya.
  • Pentingnya Sekufu (Kafa’ah):
    • Sekufu (kesetaraan) secara umum penting dalam agama untuk tujuan keberlangsungan pernikahan.
    • Dalam hal pendidikan: Tidak harus sama persis (misal: S1 sama S1). Laki-laki profesor dan istri lulusan SD tidak masalah, tetapi jika sebaliknya (istri profesor, suami lulusan SD) mungkin sulit dalam komunikasi, namun ini relatif dan tergantung pasangan.
    • Dalam hal ekonomi: Tidak harus sama-sama kaya. Jika suami miskin menikahi istri kaya, ada perbedaan pandangan ulama terkait nafkah, sebagian menyatakan nafkah harus sesuai kebiasaan hidup istri (misalnya jika terbiasa makan daging, maka harus diberi daging). Ini juga relatif.
    • Dalam hal keturunan dan budaya: Perbedaan suku tidak terlalu signifikan. Tujuan utamanya adalah mencari keberlangsungan dalam pernikahan.
    • Dalam hal pemahaman agama: Ada perbedaan antara yang sudah mengaji sunah dan yang belum. Tujuannya adalah bagaimana bisa melihat keberlangsungan dalam pernikahan.

Demikianlah yang dapat kita sampaikan. Semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Related Articles

Back to top button